JAKARTA, KOMPAS.com — Selain dituntut hukuman tujuh tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan, Direktur Keuangan PT Anugerah Nusantara Neneng Sri Wahyuni dituntut mengembalikan uang kerugian negara sekitar Rp 2,6 miliar. Uang tersebut merupakan kerugian negara yang timbul akibat perbuatan korupsi yang dilakukan Neneng dalam proyek pengadaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
"Menghukum terdakwa Neneng Sri Wahyuni membayar uang pengganti kerugian negara sama dengan harta benda yang diperolehnya dari korupsi, Rp 2,6 miliar," kata jaksa Guntur Ferry saat membacakan amar tuntutan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (5/2/2013).
Menurutnya, uang Rp 2,6 miliar itu merupakan keuntungan yang diperoleh Neneng dari proyek PLTS. Sebenarnya, nilai total keuntungan yang didapat Neneng dari hasil korupsi itu sekitar Rp 2,7 miliar. Namun, tidak semuanya harus dikembalikan kepada negara karena sebagian dari uang Rp 2,7 miliar itu sudah disita Komisi Pemberantasan Korupsi saat proses penyidikan.
Dengan demikian, Neneng tinggal mengembalikan sisanya yang belum disita KPK sekitar Rp 2,6 miliar. Jaksa menjelaskan, kerugian negara sekitar Rp 2,7 miliar itu merupakan selisih dari nilai kontrak yang dimenangkan PT Alfindo Nuratama senilai Rp 8 miliar dengan uang yang dibayarkan perusahaan tersebut kepada PT Sundaya Indonesia sekitar Rp 5,2 miliar.
Menurut jaksa, Nenenglah yang menguasai rekening PT Alfindo Nuratama setelah perusahaan itu menerima pembayaran uang proyek PLTS dari Kemnakertans. Melalui anak buahnya, Mindo Rosalina Manulang dan Marisi Martondang, Neneng bersekongkol dengan pejabat pembuat komitmen proyek PLTS Timas Ginting. Mereka bersepakat untuk mengubah hasil uji komponen produk PT Alfindo sehingga memenuhi persyaratan teknis dan ditetapkan sebagai pemenang tender.
"Setelah Alfindo ditetapkan sebagai pemenang, di mana telah menerima pembayaran, rekening Alfindo dikuasai dan dicairkan terdakwa (Neneng)," kata jaksa Guntur.
Setelah PT Alfindo memenangkan proyek tersebut, terdakwa (Neneng) mengalihkan pekerjaan utama yang seharusnya dikerjakan PT Alfindo tersebut ke PT Sundaya Indonesia. Sebagai imbalan, Neneng memberikan fee kepada Direktur PT Alfindo, Arifin Ahmad.
"Perbuatan ini dilakukannya secara sadar, padahal mengetahui perbuatan tersebut salah dan tercela, namun tetap melakukannya sehingga bisa dikatakan sengaja," tambah jaksa.
Perbuatan Neneng ini, menurut jaksa, melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Selain itu, jaksa mengatakan kalau perbuatan korupsi Neneng ini berawal sejak sebelum proses lelang. Saat itu, menurut jaksa, suami Neneng Muhammad Nazaruddin memberikan uang 50.000 dollar AS kepada pejabat Kemnakertrans untuk memengaruhi agar pejabat Kemnakertrans memenangkan Neneng dalam proyek PLTS.
Atas tuntutan ini, Neneng dan tim pengacaranya akan mengajukan pleidoi atau nota pembelaan yang dibacakan dalam persidangan berikutnya, Kamis (14/2/2013).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.