Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serudukan Sapi Impor

Kompas.com - 02/02/2013, 04:27 WIB

Oleh Saldi Isra

Tidak menunggu lama, begitu inisial LHI—salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat—dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus suap daging impor, sebagian masyarakat dengan cepat memastikan: sang pemilik nama terang di balik inisial tersebut adalah Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden Partai Keadilan Sejahtera.

Salah satu alasan yang memudahkan masyarakat menebak pemilik nama tersebut tidak lain karena bau tengik di sekitar impor daging telah menyeruak sejak awal tahun lalu. Bahkan, sebuah majalah mingguan Ibu Kota menjadikan isu ini sebagai headline dalam dua terbitan berbeda. Tidak tanggung-tanggung, kongkalikong daging impor ini mereka sebut dengan istilah yang sangat mudah untuk diingat: ”daging berjanggut”.

Kalau masyarakat tidak menunggu lama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun tak kalah sigapnya. Berkelebat ibarat pasukan elite, tanpa perlu menunggu pergantian hari, KPK langsung menerbitkan surat perintah penangkapan bagi Luthfi. Tidak sebatas itu, sejak Rabu (30/1) malam, (bekas) Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu resmi berada dalam ”pelukan” KPK. Bagi Luthfi (mungkin juga PKS), waktu ke depan akan jadi hari-hari panjang nan melelahkan.

Apabila diikuti, semua tokoh politik penting yang menjalani proses hukum di KPK, kejadian yang menimpa Luthfi menorehkan banyak rekor. Meskipun bukan jabatan tertinggi di PKS, Luthfi merupakan orang nomor satu pertama di jajaran partai politik yang dijadikan tersangka oleh KPK. Buktinya, sampai sejauh ini beberapa petinggi partai politik lain yang telah sejak lama diindikasikan terbelit kasus korupsi belum menunjukkan arah yang jelas.

Selain itu, Luthfi sendiri juga mencatatkan rekor baru, yaitu dengan memilih langkah cepat pula mengundurkan diri sebagai Presiden PKS. Sebuah tindakan yang sulit ditemukan pada sejumlah politisi di DPR yang dijadikan sebagai tersangka. Apa pun motivasinya, dalam batas-batas tertentu, pilihan Luthfi hanya bisa disandingkan dengan langkah serupa yang dilakukan bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng.

Tiga penjelasan

Sebagai sebuah bangsa yang telah lama berada dalam kepungan praktik koruptif, kejadian yang menimpa Luthfi dapat dibaca dari tiga penjelasan. Pertama, praktik korupsi sepertinya jadi bagian tak mungkin terpisahkan dari partai politik. Meski sebagian pihak yang berkarier di partai politik menolak pandangan ini, banyak bentangan empirik yang sulit dinafikan. Biasanya, makin kuat posisi politik di lembaga politik, kian terbuka pula kesempatan mengembangkan perilaku koruptif.

Menilik beberapa kasus yang melibatkan politisi, misalnya: Agelina Sondakh (Partai Demokrat), Wa Ode Nurhayati (Partai Amanat Nasional), Zulkarnaen Djabar (Partai Golkar), Emir Moeis (PDI Perjuangan), dan Muhammad Nazaruddin (Partai Demokrat), membuktikan betapa masifnya praktik korupsi. Bahkan, sekiranya para penegak hukum mau dan mampu bergerak lebih cepat, hampir dapat dipastikan bentangan fakta korupsi yang terjadi jauh lebih menyeramkan.

Kondisi yang terjadi akan semakin mengerikan sekiranya proses politik dibangun di atas tautan kepentingan tripartit: pengusaha-penguasa-politisi. Terkait dengan ini, menarik menyimak sindiran politisi muda PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko, bahwa siklus hidup partai politik: didirikan oleh para ideolog, dimenangkan oleh para politisi, dan dimapankan oleh kalangan pebisnis. Meskipun belum tentu semua orang setuju dengan pendapat itu, kejadian yang menimpa Luthfi tidak terlalu berlebihan bila diletakkan dalam sindiran itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com