Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta Banjir Solidaritas

Kompas.com - 20/01/2013, 04:17 WIB

Jakarta diserang banjir hebat. Ibu Kota lumpuh, tak berdaya. Namun, kota ini menyimpan kekuatan: warganya liat dan peduli. Semangat berbela rasa membuncah di setiap sudut kota. Melintasi sekat sosial, ideologi, ataupun agama. Jakarta banjir solidaritas.

Air sudah merendam separuh kaki-kaki meja kayu yang ditempatkan di garasi mobil rumah Stefani Hanjaya (43), di Jalan Muwardi III, Grogol, Jakarta Barat. Di atas meja ada setabung gas cair, kompor gas, rak plastik yang dipenuhi mi instan, dan kopi instan. Juga ada segalon air bersih. Dari atas kompor meruap semerbak seduhan kopi.

Sejak Kamis (17/1), listrik di sekitar wilayah ini sudah dipadamkan. Ruas-ruas jalan di seluruh kawasan belakang Terminal Grogol digenangi air setinggi satu meteran. Air bersih sudah sulit didapat. Sebagian besar warga sudah mengungsi, namun Stefani memilih bertahan di rumahnya yang dikepung banjir. Dari garasinya itu terus mengalir masakan mi instan dan kopi panas, bagi siapa pun yang membutuhkan.

”Air memang semakin naik. Tapi sementara ini rumah saya masih kering. Rasanya lebih baik bertahan di rumah daripada mengungsi ke hotel, kan uangnya lebih baik dibelikan mi instan,” kata Stefani.

Ia sehari sebelumnya masih sempat berkeliling membagikan nasi bungkus ke lokasi-lokasi yang lebih dulu diterjang banjir. ”Tapi hari ini saya benar-benar terkurung di rumah. Jadi, saya bikin posko darurat saja di sini. Tapi ya cuma bisa menyediakan mi instan dan kopi,” tuturnya.

Mental siaga

Asap juga terus mengepul dari garasi Ny Hajjah Nini Johan Arifin (74), di Jalan Bangka Buntu, Mampang, Jakarta Selatan. Puluhan ibu-ibu dan bapak-bapak sejak pagi hari mengelilingi panci-panci besar, dandang, dan kompor. Mereka membuat dapur umum dadakan. Ada yang bertugas memasak nasi, memotong sayuran, menggoreng telur, sampai membungkus makanan.

”Alhamdulillah, mereka semua datang tanpa diminta. Begitu hujan turun terus-menerus, mereka sudah tahu kalau rumah-rumah di bawah sana pasti kebanjiran. Jadi, ya pada berdatangan sambil membawa bahan makanan,” kata Ny Arifin.

Sejak era 1980-an, kawasan yang berdekatan dengan Kali Krukut itu memang langganan banjir sehingga di antara sesama warga sudah terbentuk ”mental siaga”, termasuk untuk membuat dapur umum dan membantu evakuasi. Semua terbangun nyaris tanpa komando formal. Di rumah Ny Arifin, misalnya, tersedia satu tempat khusus untuk menyimpan peralatan dapur berukuran besar, mulai dari kompor sampai dandang dan tikar, yang dibutuhkan untuk sebuah perhelatan massal.

”Kalau sewaktu-waktu dibutuhkan bisa segera digunakan untuk dapur umum, seperti kalau pas banjir. Tapi juga bisa dipakai untuk selamatan atau pengajian,” katanya.

Siang itu, mereka berhasil menuntaskan 850 nasi bungkus untuk makan siang dan 850 nasi bungkus untuk makan malam. Menu makanan pun dibuat berbeda. Untuk makan siang mi goreng dan telur dadar. Untuk makan malam telor balado, oseng kacang panjang, dan sayur tahu.

Paguyuban remaja

Membagikan bantuan kepada warga di lokasi banjir bukan hal gampang, apalagi bila itu dikoordinasi sendiri oleh sesama warga. Saat permukaan air Kali Krukut meluap dan genangan banjir di perumahan di sekitarnya semakin naik hingga 1,4 meter, Kohar, warga RW 003 Kelurahan Petogogan, Jakarta Selatan, langsung siaga. Ia dan teman-temannya sejak pagi sampai malam belum beristirahat membagikan nasi bungkus kepada warga yang rumahnya terendam, sekaligus mengevakuasi warga, terutama yang sakit dan lanjut usia.

Kohar dan rekan-rekannya berjalan dalam rendaman air coklat yang tingginya mencapai 1,5 meter sambil menyeret perahu karet. Bila air terlalu dalam, mereka naik ke atas perahu. ”Tidak mudah mengendalikan perahu karet. Apalagi kalau harus berjalan melawan arus. Melelahkan,” kata Kohar yang sehari-hari adalah pegawai administrasi.

Kawasan berpenghuni 2.800 jiwa itu padat dengan gang-gang sempit, pagar-pagar tajam, rumah-rumah pendek dengan atap seng, serta selokan terbuka. Saat banjir melanda, semua tertutup air keruh kecoklatan dan menjadi ancaman.

”Yang mengerti wilayah ini dan lika-likunya ya warga di sini. Orang yang mahir di laut, jago berenang, belum tentu bisa lancar evakuasi di wilayah kita. Niatnya mau menyelamatkan, bisa-bisa kejeblos atau perahu nyangkut di pagar dan seng tajam. Malah repot jadinya,” kata Kohar yang tergabung dalam Paguyuban Remaja RW 003 (Pro3), yang setiap ada bencana langsung turun tangan tanpa lama menunggu komando.

Kerukunan dan saling menjaga seperti itu terlihat juga di Kelurahan Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur. Sebanyak 240 warga di RT 006 RW 003 memilih mengungsi di rumah- rumah tetangga. Selain merasa lebih aman dan kenal dengan penghuninya, mereka juga tidak perlu berdesakan di lokasi pengungsian yang dipusatkan di Gelanggang Olahraga, Youth Center, Otista.

Apabila ketinggian air di Bendung Katulampa, Bogor, lebih dari 100 sentimeter dan Pintu Air Manggarai lebih dari 900 sentimeter, Sarindi dan rekan-rekannya segera mengajak warga mengungsi. Pengumuman untuk bersiaga disuarakan lewat pengeras suara di masjid-masjid ketika banjir belum mencapai permukiman sehingga warga bisa mengungsi dengan aman. Sebagian warga yang tidak mengungsi langsung membangun dapur umum.

Suhartono Ade membuka rumahnya di Jalan Persada, Gembor, Periuk, Tangerang, untuk pengungsian warga korban banjir. Bersama puluhan pemuda warga Perum Bangun Persada, Gembor, Periuk, Tangerang, Ade berjibaku mengevakuasi para korban banjir. ”Semuanya spontan. Ini banjirnya sudah sampai atap,” kata Ade.

Modal sosial

Apa yang menggerakkan warga untuk gotong royong dan peduli? Menurut sosiolog Imam B Prasodjo, bencana, seperti banjir, mampu mewadahi solidaritas sosial warga yang selama ini tidak tersalurkan karena kondisi normal. ”Kita bangsa yang mudah sekali tergerak untuk membantu orang lain. Basis kita masyarakat komunal, berbasis komunitas,” kata Imam yang juga penggiat sosial.

Jika dikelola dengan baik, lanjutnya, sifat tolong-menolong bisa menjadi modal sosial yang efektif dalam menghadapi berbagai kesulitan bangsa. Pengelolaan yang sistematik dan tersusun rapi, antara lain, bisa mempermudah masyarakat dalam menyalurkan bantuan. ”Jangan solidaritas hanya tampak ketika terjadi bencana lalu tiba-tiba menghilang dan kembali individualis,” ujar Imam.

Dalam dua pekan ke depan, hujan memang masih akan terus menderas di Ibu Kota. Toh, di tengah deru cerita pilu Jakarta, masih terselip asa, juga semangat, yang tak pupus oleh terjangan bencana.(myr/wkm/can/ ine/bsw/row)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com