Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kembalikan Keadaban Publik

Kompas.com - 26/12/2012, 02:19 WIB

Apa yang akan terjadi jika semangat pragmatisme, komersialisasi, dan korupsi yang mewabah juga ikut menggerogoti dunia pendidikan sebagai wahana penting pencetak warga negara dalam upaya wewujudkan suatu keadaban bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Apa yang terjadi jika lembaga pendidikan bermain mata dengan kekuasaan? Ketika secara kolektif sebagai bangsa kita terus mengalami pendangkalan, kehilangan seluruh nalar reflektif, kemampuan berpikir abstrak, dan hasrat bertindak? Ketika tujuan pendidikan dikuasai nalar korporasi dan direduksi sekadar untuk penuhi tuntutan pasar?

Dunia pendidikan kita tengah menghadapi persoalan besarnya sendiri. Akibatnya, sulit berharap lembaga pendidikan bisa menjadi elemen penggerak masyarakat sipil dalam upaya mengimbangi kepentingan bisnis dan kepentingan kekuasaan politik. Yang terjadi, dunia akademik justru cenderung menjadi pelayan kekuasaan bisnis dan politik.

Dalam relasi kekuasaan politis, sulit membayangkan masyarakat akademik menjadi penyeimbang kekuasaan ketika pemerintah, melalui berbagai peraturan, ikut menata statuta perguruan tinggi, proses belajar-mengajar, perekrutan serta pemindahan dosen dan peneliti. Bagaimana bisa berharap dosen/akademisi/peneliti bersikap kritis terhadap kekuasaan jika pemerintah punya otoritas langsung untuk memindahkan dia dari jabatannya? Dalam relasi kekuasaan pasar, sulit berharap sikap kritis muncul jika kurikulum dan arah penelitian ada di bawah cara pikir kepentingan dunia bisnis dan industri.

Pragmatisme tengah menjangkiti penyelenggaraan dunia pendidikan kita, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Tujuan pendidikan yang menurut Pembukaan UUD 1945 mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, mengalami pendangkalan, digantikan jargon-jargon populer seperti ”memproduksi manusia unggul, berdaya saing global, dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan pasar”.

Semua itu penting, tetapi jadi persoalan besar ketika kemudian indikator yang sangat instrumental ini mengambil alih arah dan tujuan penyelenggaraan pendidikan di negara ini. Keberhasilan pendidikan semestinya tak hanya diukur dari kompetensi anak didik, tetapi juga kebiasaan dalam sikap dan tindakan serta ketajaman intuisi dan nurani sebagai wujud transformasi utuh manusia di dalam keadaban bersama.

Ketika motif dagang memasuki kawasan pendidikan, yang terjadi adalah kolonisasi homo economicus. Alih-alih menerapkan kriteria pendidikan, para birokrat pendidikan kita justru lebih sibuk menerapkan nalar industri dan memburu ISO. Mutu tata kelola pendidikan pun didefinisikan berdasarkan kepuasan pelanggan. Pasar menjadi kata penentu dalam setiap keputusan. Momok terbesar perguruan tinggi sekarang ini adalah jika lulusannya tak laku di pasar.

Berkuasanya nalar ekonomi membuat nalar praktis dan epistemik tenggelam di bawah nalar instrumental. Orang diajarkan jadi ”tukang nalar” yang tahu mencapai tujuan tetapi tak mampu menimbang baik-buruk tujuan. Cita-cita mendidik warga negara dialihkan jadi mendidik konsumen yang tentu saja tak diajarkan bersikap kritis, rasional, abstrak- imajinatif-kreatif demi kebaikan hidup bersama. Sebaliknya, mereka dididik hasratnya untuk menyerap segala hal gemerlap yang ditawarkan pasar.

Lembaga pendidikan yang mempertahankan cita-cita ideal pendidikan dianggap ketinggalan zaman. Dihadapkan pada anggaran terbatas, mereka lebih mengutamakan penelitian dan pengembangan bidang-bidang ilmu yang bisa memberi manfaat segera atau memenuhi tuntutan pasar. Kurikulum pun dirombak untuk bisa menopang tujuan itu.

Tanpa strategi yang mengacu ke hakikat dan tujuan pendidikan, bukan mustahil para peneliti-dosen didikte oleh kepentingan bisnis dan kekuasaan. Peneliti dari bidang-bidang yang kering— seperti penelitian dasar—beralih ke penelitian yang lebih mendatangkan keuntungan ekonomi dan relasi dengan kekuasaan. Di bidang kesehatan, banyak penelitian biomedis bergeser dari upaya memahami penyebab penyakit ke produksi obat-obatan yang lebih membuahkan laba. Lebih mengkhawatirkan lagi ketika bukan hanya arah penelitian (otonomi akademik) yang didikte kepentingan industri, melainkan juga jawaban-jawabannya (integritas akademik).

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com