Karakter perbuatan yang sama di antara kedua disiplin hukum inilah yang kemudian menjadi wilayah abu-abu sebagai kriminalisasi kebijakan.
Sebagai perbandingan, kebijakan dana talangan oleh Federal Reserve dalam peristiwa krisis keuangan AS tahun 2008, yang tetap memberikan imunitas atas intervensi penegak hukum; kecuali intervensi penegak hukum atas penyalahgunaan wewenang atau melawan hukum dari penerima kebijakan, seperti dilakukan Bernard Madoff, yang diperbolehkan.
Terhadap kebijakan itu sendiri harus dihindari intervensi penegak hukum.
Ketiga, terkait perdebatan yang masih berlangsung mengenai kriminalisasi kebijakan dalam kaitan kasus tindak pidana korupsi. Lembaga yudikatif pun memiliki pandangan dan interpretasi berbeda untuk kasus korupsi yang sama dalam kaitan kebijakan yang dapat atau tidak dapat dikriminalisasikan.
Dalam kaitan penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), misalnya,
Putusan Mahkamah Agung yang diketuai oleh Bagir Manan mengakui bahwa BLBI merupakan suatu kebijakan pemerintah, tetapi MA menghukum para mantan Direktur BI akibat kebijakan ini.
Contoh lain, kasus korupsi Akbar Tandjung. Ia telah dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum melalui putusan MA No 572 K/Pid/2003 tanggal 4 Februari 2004 yang menyatakan bahwa kebijakan program pengadaan dan penyaluran sembako yang dijalankannya merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh seorang koordinator/Mensesneg dalam keadaan darurat sesuai kewenangan diskresioner. Putusan MA menegaskan bahwa kebijakan tak dapat dinilai dalam kompetensi hukum pidana.
Diskresioner ini biasa terjadi karena peraturan perundang-undangan tak mengatur kewenangan pemerintahan sama sekali atau peraturan perundang-undangan mengatur suatu norma yang tidak jelas atau samar (vague norm). Selain itu, suatu dikresioner dapat dilakukan aparatur negara dalam keadaan penting, perlu, dan mendesak. Filosofinya tentunya berpijak pada anggapan bahwa mekanisme BI tak dapat berhenti semenit pun karena alasan wewenang tak memiliki suatu landas hukum.
Kebijakan Dewan Gubernur BI sebagai ranah hukum administrasi negara tegas tercantum pada Pasal 45 UU 23/1999 mengenai BI bahwa ”Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan atau pejabat BI tidak dapat dihukum karena mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud UU ini sepanjang dilakukan dengan itikad baik”. Kebijakan tidak termasuk penilaian oleh hukum pidana, yang memfokuskan diri pada soal rechtmatigheid dan bukan doelmatigheid sebagai ranah hukum administrasi negara.
Keempat, andaikata pun nanti kebijakan ditetapkan sebagai perbuatan pidana korupsi, KPK harus secara cermat membuktikan adanya niat jahat (mens rea) atas pelaksanaan actus reus (perbuatan yang mengandung tindak pidana, seperti penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum). Mens rea adalah pembuktian yang tak mudah karena bermakna mengandung faktor subyektif dari pembuat kebijakan saat membuat kebijakan FPJP, yaitu Gubernur BI, Menkeu, LPS (yang tergabung pada KKSK). Rasionalitasnya, KPK harus berasumsi peningkatan ke penyidikan adalah langkah penegakan hukum, bukan pelunasan utang politik KPK ke DPR!
Indriyanto Seno Adji Guru Besar Hukum Pidana/Pengajar Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum FHUI
Berita terkait dapat diikuti dalam topik:
Apa Kabar Kasus Century?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.