Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bola Ada di Tangan Presiden

Kompas.com - 11/11/2012, 03:48 WIB

Jakarta, Kompas - Kepastian nasib grasi terpidana kasus narkoba, Meirika Franola alias Ola, sepenuhnya merupakan wewenang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden bisa membiarkan grasi itu atau mencabutnya dengan mempertimbangkan dugaan keterlibatan terpidana tersebut dalam kasus baru penyelundupan narkoba.

Pendapat itu dikatakan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra; pengamat hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin; dan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung, secara terpisah, di Jakarta, Sabtu (10/11).

Sebelumnya diberitakan, Presiden memberikan grasi dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup kepada Ola pada 2011. Namun, Ola yang dipenjara di LP Wanita, Tangerang,

diduga menjadi otak penyelundupan sabu seberat 775 gram dari India ke Indonesia baru-baru ini.

Jumat, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengatakan, sebelum memberikan grasi kepada Ola, Presiden meminta pertimbangan darinya, Menko Polhukam, Jaksa Agung, dan Kepala Polri. Dia memberikan pertimbangan untuk mengabulkan grasi itu. Jaksa Agung Basrief Arief, Sabtu, juga mengatakan, dirinya memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk menyetujui grasi.

Alasan kuat 

Saldi mengatakan, memang belum pernah ada grasi dicabut meski sebenarnya tak ada larangan untuk itu. Kalau grasi itu dicabut, Presiden harus memberikan alasan yang kuat. Salah satunya, penerima grasi mengkhianati semangat pemberian keringanan hukuman itu dengan mengulangi tindak pidananya.

Memang pencabutan grasi itu akan mengganggu aspek kepastian hukum. Namun, kebijakan itu bisa memenuhi aspek kemanfaatan dan keadilan hukum. Jika grasi tidak dicabut, justru bisa mencederai wibawa lembaga presiden. ”Sekarang bola ada di tangan Presiden. Jauh lebih baik mencabut lagi grasi itu ketimbang membiarkannya,” katanya.

Andi Irmanputra Sidin mengatakan, pembiaran atau pencabutan grasi memiliki risiko masing- masing. Jika mencabut grasi, sama saja Presiden mengakui dia salah atau tidak cermat dalam mengeluarkan kebijakan.

Pencabutan grasi juga berdampak tiadanya kepastian bagi warga negara yang menerima grasi itu. Ini bisa jadi preseden buruk karena presiden berikutnya bisa mencabut grasi yang diberikan presiden sebelumnya.

”DPR bisa menggunakan hak untuk pengawasan atau kontrol kepada presiden, seperti hak interpelasi,” kata Andi.

Akbar mengatakan, Presiden sudah mengatakan bertanggung jawab atas grasi Ola. Presiden layak diberi kesempatan untuk mempertimbangkan apakah akan membiarkan atau mencabut grasi itu. (IAM/why)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com