Suasana di ruang wartawan Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/11), mendadak ramai. Tidak seperti biasanya, ruang yang biasanya dipakai untuk diskusi itu dipakai untuk rapat wartawan.
Tidak sedikit wajah-wajah ”asing” mengikuti rapat dengan serius. Dianggap asing karena jarang terlihat meliput di lingkungan parlemen atau di ruang wartawan. Rapat berlangsung seru, bahkan sempat diskors dilanjutkan pada sore hari.
Setelah disimak, rapat yang amat jarang dilakukan itu ternyata membahas rencana pemilihan ketua dan pengurus Koordinatoriat Wartawan Parlemen 2012-2014 atau yang biasa disebut pilkapres atau pemilihan ketua pressroom.
Pilkapres menjadi perbincangan hangat di kalangan wartawan yang sehari-hari meliput di parlemen. Ada yang menanggapi dengan serius, ”guyonan”, ada juga yang apatis.
Permasalahan yang dipersoalkan nyaris sama dengan persoalan dalam pemilihan anggota legislatif (pileg) seperti teknis penyelenggaraan hingga peta kekuatan politik.
Dalam soal teknis penyelenggaraan, hal-hal yang dipersoalkan antara lain kriteria pemilih. Dalam pileg, warga negara yang telah berusia 17 tahun atau sudah menikah berhak memilih. Sementara di pilkapres, yang berhak memilih adalah mereka yang sudah meliput di parlemen minimal enam bulan dan menyerahkan surat penugasan dari kantor media masing-masing.
Daftar pemilih juga dipersoalkan lantaran banyak wartawan yang sudah meliput lebih dari enam bulan di DPR tidak masuk daftar pemilih. Sementara ada wartawan yang sudah tidak lagi bertugas di parlemen justru masuk daftar pemilih.
Sama seperti pileg, di pilkapres berlaku pula undangan memilih. Hanya mereka yang mendapatkan undangan yang mendapatkan hak pilih. Tanpa undangan, wartawan tidak bisa ikut pemilihan yang rencananya digelar pada 10-11 November di Wisma DPR Kopo, Bogor, Jawa Barat.
Perbincangan mengenai peta politik juga tak kalah seru. Menjelang pilkapres, ada yang ”bergerilya”, melobi, dan meminta dukungan. Wartawan terbagi dalam kelompok-kelompok kecil. Ada kelompok pendukung petahana, ada kelompok yang menginginkan perubahan dengan mengganti petahana.
Berbagai cara dilakukan untuk menang. Bukan hanya wartawan yang didekati, tetapi juga kalangan di luar wartawan seperti fraksi, pimpinan lembaga, dan pengusaha. Bahkan bisik-bisik di kalangan wartawan sudah ada bakal calon yang didukung fraksi tertentu, ada yang didukung pimpinan MPR, DPR, atau DPD, ada juga yang mendapat dukungan pengusaha.
Begitulah dinamika pilkapres yang tidak kalah dengan pemilihan DPR (kamar pertama) dan pemilihan DPD (kamar kedua). Maka tak berlebihan jika pilkapres ini disebut sebagai ajang pesta demokrasi ”kamar ketiga”.
Kalau pesta di kamar pertama dan kedua kerap berakhir ”manis” di penjara, semoga pesta di kamar ketiga tidak mengikutinya. Namun, ada peran dan pelibatan pengusaha juga di sana. Untuk apa ya? (Anita Yossihara)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.