JAKARTA, KOMPAS.com — Dua warga negara Malaysia Mohamad Hasan bin Kushi dan R Azmi bin Muhamad Yusof didakwa menghalang-halangi penyidikan kasus dugaan korupsi proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan tersangka Neneng Sri Wahyuni. Surat dakwaan keduanya dibacakan tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi dengan bantuan penerjemah bahasa dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (1/11/2012).
Menurut jaksa, kedua warga negara Malaysia melanggar Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Ancaman hukumannya, maksimal 12 tahun penjara ditambah denda maksimal Rp 600 juta.
"Sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, ataupun para saksi dalam perkara di KPK. Merintangi penyidikan KPK dalam kasus proyek PLTS di Ditjen P2MK Kemennakertrans 2008 dengan tersangka Neneng Sri Wahyuni," kata jaksa Kadek Wiradana.
Menurut jaksa, keduanya menyembunyikan Neneng dan telah memasukkan istri mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin itu ke wilayah Indonesia melalui jalur ilegal.
"Dengan maksud supaya Nenneg yang jadi buronan Kepolisian Internasional (Interpol) itu sulit dilakukan penangkapan," sambung jaksa Kadek.
Akibat perbuatan keduanya, menurut jaksa, proses penyidikan kasus PLTS dengan tersangka Neneng Sri Wahyuni menjadi terhambat. Karena pelariannya, Neneng beberapa kali tidak hadir dalam panggilan pemeriksaan KPK.
"Selanjutnya KPK meminta Interpol menyebarkan red notice atas nama Neneng dan membantu menangkap Neneng agar diserahkan ke KPK," ucap jaksa Kadek.
Ia menguraikan, Mohammad Hasan dan R Azmi yang mengetahui kalau Neneng tinggal di sebuah apartemen di Kuala Lumpur dan sedang menjadi buronan KPK itu tidak melaporkan Neneng ke Kepolisian Malaysia. Sekitar Juni 2012, keduanya bertemu dengan Neneng di suatu kedai di Kuala Lumpur. Dalam pertemuan tersebut, Neneng meminta kepada kedua warga negara Malaysia itu untuk dibantu masuk wilayah Indonesia melalui jalur ilegal.
"Terdakwa Muhamad Hasan pun menyanggupinya," tambah jaksa.
Kemudian, terdakwa Hasan menemui Thoyyibin Abdul Azis yang dianggapnya bisa membantu Neneng masuk Indonesia melalui jalur ilegal. Lalu, pada 12 Juni, Neneng dan Thoyyibin menumpang feri menuju Batam dengan jalur ilegal. Sementara Hasan dan Azmi menuju Batam dengan jalur ilegal bersama pembantu Neneng yang bernama Chalimah. Sesampainya di Batam, Hasan dan Azmi memesan kamar di Hotel Batam Center.
"Memesan kamar atas nama Hasan dan R Azmi kemudian kamar 318 untuk ditempati tersangka Neneng dan Chalimah yang dibayar Hasan," kata jaksa Kadek.
Rombongan Neneng tersebut kemudian menuju Jakarta melalui Bandara Hang Nadim, Batam. Agar tidak diketahui aparat, Neneng menggunakan identitas lain atas nama Nadia. Setibanya mereka di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Neneng dan Chalimah menaiki taksi dan menuju rumahnya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Sedangkan Hasan dan Azmi menuju Hotel Lumire, Jakarta. Dalam perjalanan, Hasan menghubungi Neneng dan menyarankan agar tidak tinggal di rumahnya untuk menghindari penegak hukum. Namun, Neneng akhirnya tertangkap penyidik KPK di kediamannya di Pejaten. Tidak lama setelah Neneng ditangkap, penyidik KPK menangkap Hasan dan Azmi. Menanggapi dakwaan ini, kedua warga negara Malaysia itu mengaku hanya mengerti sebagian surat dakwaan yang dibacakan jaksa. Mereka dan tim kuasa hukumnya akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan dalam persidangan berikutnya.
Berita terkait dapat diikuti dalam topik:
Neneng dan Dugaan Korupsi PLTS