Keluarga resah karena dugaan hilangnya dua polisi ini hampir bersamaan dengan serentetan peristiwa teror yang marak di Poso sebulan terakhir ini.
Pencarian dilakukan dengan menyisir sejumlah lokasi di Poso Pesisir. Selain itu, pencarian juga dilakukan di lokasi-lokasi yang diduga jadi tempat terakhir kemunculan atau tempat terakhir orang melihat kedua polisi itu.
”Pencarian masih dilakukan. Semua informasi kami himpun, baik dari keluarga maupun orang-orang yang terakhir kali melihat mereka. Semua lokasi yang pernah atau terakhir kali mereka datangi kami cek,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sulteng Ajun Komisaris Besar Soemarno, Minggu (14/10).
Berdasarkan informasi yang diperoleh, korban terakhir kali meminta izin kepada keluarganya untuk memenuhi undangan ke sebuah pesta di Poso Pesisir. Keduanya berangkat bersama pada Minggu (7/10) malam. Namun, sejak saat itu tidak ada lagi kabar mereka hingga kini. Informasi lain menyebut, keduanya ke sebuah desa di Poso Pesisir yang selama ini diduga menjadi tempat pelatihan dan transit bagi kelompok yang diduga terkait jaringan teroris.
Teror di Poso dalam kurun sebulan terakhir dimulai dari kasus penembakan pada Minggu (26/8) di Desa Sepe, Kecamatan Lage, yang menewaskan Noldi Ombolando (27).
Hanya berselang sepekan, penembakan misterius kembali terjadi di Desa Masani, Kecamatan Poso Pesisir, yang melukai leher Hasman Sao (35). Beruntung nyawa Hasman bisa diselamatkan. Sebuah bom rakitan meledak di rumah Okri Mamuaya (48) di Desa Kawua, Kecamatan Poso Kota Selatan, Selasa (9/10).
Deklarator Malino I Pendeta Rinaldy Damanik didampingi Koordinator Kontras Haris Azhar di Kantor Kontras, Jakarta, Minggu (14/10), mengatakan, pemulihan Poso pascakonflik masih terabaikan.
Pemerintah tidak melakukan peningkatan kesejahteraan yang disinergikan dengan program penegakan hukum dan peningkatan keamanan.
”Bukan hanya berupa peristiwa kekerasan yang masih terjadi di sana-sini di Poso, melainkan juga politik pembiaran dilakukan dengan tidak memulihkan sama sekali bangunan di kompleks masyarakat Muslim dan Kristen. Trauma kekerasan yang dialami masyarakat tetap dibiarkan,” kata Damanik.
Poso pernah dilanda konflik tahun 1998-2000. Pasca-Deklarasi Malino I, kekerasan komunal berhenti, tetapi penyelesaian akar masalah dan dampak yang terjadi belum tertangani serius.