Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Toleransi terhadap Intoleransi

Kompas.com - 08/09/2012, 03:07 WIB

Kalau masih mau memperta- hankan dasar-dasar kita membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita harus mengakhiri langkah-langkah de facto, perda, atau aturan kenegaraan yang toleran terhadap intoleransi pelbagai saudara kita sebangsa dalam bidang politis, yuridis, sosial, ekonomi, sampai kepada kemerdekaan beragama dan beribadat.

Bila kita tidak menyudahi praktik tak konsekuen dan tak konsisten itu, pujian mengenai sifat toleran bangsa kita hanyalah semu belaka. Sumpah jabatan kita sekadar ritual tanpa makna. Janji pemilu tak memiliki arti sama sekali. Dibutuhkan kemauan politik dari penguasa negeri kembali ke Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Agama yang hadir di Indone- sia harus menghayati makna keindonesiaan. Persoalan kita saat ini: agama direduksi ke dalam pe- maknaan yang amat sempit. Dalil agama seolah-olah mengabsahkan perusakan dan pembunuhan tanpa pernah mengangkat dalil lain bahwa tujuan utama beragama adalah memperoleh kedamaian.

Miopik dan dangkal

Pemahaman agama secara miopik dan dangkal seperti itu disebarkan terus-menerus untuk mendidik manusia bahwa kebenaran agama tersimpan dalam perilaku di luar kemanusiaan. Pertanyaannya, mengapa sebagi- an orang mudah tertarik dalam pemahaman sempit seperti ini? Mengapa agama lebih mudah dijadikan sebagai aspirasi daripada inspirasi dalam kehidupan?

Pemahaman agama yang terjerembab dalam lubang kegelapan seperti ini memiliki konsekuensi logis: orang sulit keluar dari pemahaman radikal yang menganggap agama sebagai satu-satunya pembenaran untuk melakukan teror dan kekerasan.

Mereka yang sudah berada di dalamnya sulit diajak berkomunikasi. Kehidupannya pun sangat eksklusif: seolah-olah hidup sendiri di dunia penuh warna ini. Kesadaran toleransinya tertutup rapat oleh tebalnya ”keimanan” dan keyakinan paling benar sendiri di antara yang lainnya.

Karena itu, yang ada di dalam otak mereka ialah melakukan pembasmian orang-orang di luar yang tak berpemahaman sama dengan dirinya. Dalam kondisi demikian, agama mendapat citra yang sangat buruk dan tidak manusiawi karena diperankan dalam ruang yang sangat eksklusif dan hanya untuk golongan tertentu, bukan untuk kebaikan umat manusia.

UUD 1945, NKRI, dan Bhinne- ka Tunggal Ika menjadi cara berpikir, bertindak, bernalar, dan berelasi anak bangsa ini. Agama yang hadir di Indonesia seharusnya menghayati makna keindonesiaan. Penafsiran teks kitab suci masa kini harus membantu bagaimana cara beragama kita lebih rasional, toleran, peka, terbuka, dan tidak membuat orang beriman menjadi picik dan mudah ditipu oleh alasan perjuangan keagamaan.

Benny Susetyo Rohaniman

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com