Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kuasa Oligarki

Kompas.com - 06/09/2012, 03:24 WIB

Oleh Airlangga Pribadi  

Salah satu masalah genting dalam proses pelembagaan politik di Indonesia adalah bahwa setiap penataan institusi politik era pascaotoritarianisme mengasumsikan proses politik sebagai ruang yang hampa dari kehadiran kuasa, kepentingan, dan pertarungan politik di dalamnya.

Salah satu bukti kegagalan proses institusionalisasi demokrasi: dalam 14 tahun era reformasi, negeri kita tak mampu membendung tumbuh dan menguatnya kekuasaan oligarki yang berumah di partai politik. Kekuasaan oligarki adalah persekutuan kekuatan bisnis besar dan elite politik, dari tingkat nasional sampai lokal, yang secara terpusat mengontrol dan memanfaatkan proses politik demokrasi melalui arena legislatif ataupun eksekutif bagi kepentingan ekonomi-politik sendiri.

Dalam memandang politik sebagai perjuangan tiap orang secara kolektif merealisasikan kebaikan bersama, problem dari keberadaan oligarki ini tak saja terkait dengan kehadiran gejala politik dinasti ketika kekuasaan politik terpusat pada hubungan kekerabatan dengan elite politik utama dan mereka yang dapat restu darinya. Lebih dari itu, penguasaan arena politik dan artikulasinya semata-mata bagi kepentingan bisnis politik dari kekuatan oligarkis—melalui parpol—ini telah membuat setiap langkah parpol kian menjauh dari agenda publik. Mereka membangun relasi-relasi yang secara eksklusif hanya bersinggungan dengan kepentingan mereka. Juga menjauhkan elitenya dari tanggung jawab sosial untuk mengawal agenda kerakyatan.

Dilema politik modern ini mengingatkan kita pada ulasan Profesor (sejarah politik) Christopher Lasch dalam The Revolt of The Elites and the Betrayal of Democracy. Baginya, persoalan dalam politik kontemporer tidak muncul dari penolakan kaum marjinal dan miskin karena rasa frustrasi mereka atas berlangsungnya proses politik demokrasi.

Mengisolasi diri

Problem utama muncul dari penolakan kaum elite aristokratik modern memperjuangkan demokrasi sebagai idealitas dan amanah bagi seluruh warga negara dengan segenap aspirasi dan kebutuhannya. Dalam perkembangan politiknya, kaum aristokrat-oligark ini mengisolasi diri pada enklave dan ruang jejaring elitis yang sejalan dengan kepentingan sempit mereka.

Gambaran inilah yang tampil dari kuasa kaum oligark pada parpol Indonesia. Tiadanya prioritas kebijakan dalam arus politik dari tingkat nasional maupun lokal (baik di sektor pertanian, perburuhan, pedagang kecil sektor tradisional, maupun kelompok sosial marjinal lain di era pasca-otoritarianisme) berakar pada persoalan oligarki bisnis-politik yang menggurita dari nasional sampai ke lokal.

Baik pada konteks kebijakan pertanian bagi kalangan petani miskin, dalam arsitektur kebijakan pasar yang semestinya berpihak pada pedagang kecil tradisional, maupun dalam relasi industrial untuk kepentingan kaum buruh, kita menemukan bahwa simpul-simpul utama sektor produktif bagi mayoritas kalangan masyarakat miskin di Indonesia ini tak bersinggungan dengan kepentingan aliansi bisnis- politik dari kaum oligark yang berumah di partai politik.

Pada sektor pertanian kita menyaksikan naiknya angka kemiskinan masyarakat desa yang berbanding terbalik dengan penurunan angka kemiskinan nasional. Apabila berpijak pada indikator ekonomi 2009, angka kemiskinan nasional sebesar 32,53 juta jiwa (14,5 persen) menjadi 31,02 juta jiwa (13,32 persen) pada 2010, kontras dengan angka kemiskinan pedesaan yang naik dari 63,35 persen menjadi 64,23 persen pada kisaran tahun yang sama (Khudori, 2011).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com