Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekerasan hingga Radikalisme Jadi Alasan

Kompas.com - 22/08/2012, 02:09 WIB

Kekerasan atas nama agama berulang kali terjadi. Kelompok-kelompok masyarakat menyerang sesama dengan dalih menjaga kesucian agama. Korban luka dan meninggal berjatuhan. Di mana negara yang bertugas melindungi warganya? Kegagalan negara menjalankan tugas prinsipnya dimaknai pemerintah sebagai tumpulnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Alasannya, ormas berkembang luar biasa pasca-Reformasi.

Pemerintah hanya bisa menegur organisasi yang kerap bermasalah dengan hukum. Itu pun setelah polisi menyatakan adanya tindak pidana yang dilakukan ormas tersebut. Teguran hanya diberikan sesuai jenjang kewilayahan tempat kejadian. Ketika teguran sudah tiga kali dilayangkan untuk wilayah sama, baru organisasi bisa dibekukan atau dibubarkan.

Sementara hukuman pidana untuk individu-individu pelaku kekerasan terasa ringan. Kalaupun ada yang diproses secara hukum, jumlahnya hanya sedikit. Efek jera tidak muncul.

Di sisi lain, beberapa ormas dipimpin para pejabat atau kepala daerah sehingga anggota ormas merasa kebal dan terlindungi. Masyarakat yang rentan dengan perilaku congkak itu hanya bisa mengelus dada.

Aliran dana asing

Alasan tidak terdaftarnya ormas juga selalu digunakan Kementerian Dalam Negeri untuk tidak mampu bertindak. Karena itu, pemerintah dan DPR kini membahas Rancangan Undang-Undang tentang Ormas yang meliputi keharusan ormas didaftarkan ke Kemendagri serta berbagai larangan dan sanksi terhadap ormas.

Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kemendagri Tanribali Lamo mengatakan, tidak hanya persoalan kekerasan yang dihadapi, tetapi juga ada ancaman radikalisme dan terorisme yang merembes masuk melalui ormas. Dana-dana asing dengan mudah masuk membiayai kegiatan radikal.

”Menurut PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), ada aliran dana besar dari luar negeri yang masuk melalui yayasan-yayasan. Meskipun belum menyampaikan laporan resmi, Ketua PPATK Pak Yusuf meminta pengaturan ormas lebih ketat. Jadi, kami atur supaya masuknya uang jelas,” tutur Tanribali.

Aturan terkait ormas pun diperketat. Dalam RUU Ormas yang diusulkan DPR, ormas wajib membuat laporan pertanggungjawaban keuangan yang terbuka untuk publik. Sumbangan dari orang asing/lembaga asing harus diberitahukan dan/atau dengan persetujuan pemerintah. Jumlah sumbangan yang harus diberitahukan itu adalah Rp 500 juta ke bawah. Jumlah sumbangan lebih dari Rp 500 juta harus dengan persetujuan pemerintah.

Ormas juga dilarang menerima/memberi sumbangan dalam bentuk apa pun kepada pihak asing yang bertentangan dengan undang-undang. Mengumpulkan dana untuk partai politik/kampanye jabatan politik ataupun menerima sumbangan dari pihak yang tidak jelas juga tidak dibolehkan.

Ala Orba

Ada pula larangan untuk menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran/paham yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam penjelasan RUU Ormas disebutkan, paham-paham tersebut antara lain komunisme, marxisme, leninisme, kapitalisme, dan liberalisme.

Larangan ini membuat RUU Ormas mirip dengan aturan represif ala Orde Baru. Pikiran dibatasi. Akhirnya, lahir kemunafikan dan pelanggaran hak asasi manusia. Buktinya, kendati kapitalisme dan liberalisme dilarang, masyarakat bisa merasakan semua sektor kehidupan dijalankan dengan paham itu. Siapa bisa membayar, dia akan mendapat pelayanan. Ideologi kiri yang demikian dikhawatirkan selama ini lebih dimanfaatkan untuk memberangus orang-orang yang ”dicap” PKI.

Ketika ditanya, bagaimana bisa membuktikan ormas sebagai perusak ideologi, Tanribali mengakui kesulitannya. Namun, itu bisa dirasakan. Kepolisian dan kejaksaan bisa menegakkan hukum apabila ormas menyebarkan paham-paham itu. Kendati dia mengatakan pembelajaran berbagai ideologi sah dilakukan di kampus, hal itu tetap harus dilaporkan ketika melibatkan ormas.

Larangan ini dinilai Koalisi untuk Kebebasan Berserikat sebagai upaya represif pemerintah untuk menutupi kegagalan penegak hukum. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Nurkholis Hidayat menegaskan, pelaku kekerasan bisa ditindak dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Masalahnya, apakah penegakan hukum yang dilakukan sudah optimal?

Selain itu, transparansi keuangan ormas pun bisa dituntut dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Untuk pemberantasan terorisme, Indonesia memiliki beberapa peraturan perundangan mulai 2003 sampai 2012. Karena itu, ukuran pelarangan ormas dinilai sangat multitafsir.

Tanribali mengakui, sanksi pidana, denda, ataupun kurungan yang akan diatur dalam RUU Ormas belum disepakati pemerintah dan DPR. Pemerintah berharap, sebelum pembekuan ormas, ada tahapan teguran seperti pada UU No 8 Tahun 1985, sedangkan DPR sebaliknya.

Ketika tak ada kemauan penegakan hukum dan menjalankan tugas melindungi segenap warga, RUU Ormas akan menjadi aturan tumpul lagi. Namun, pemerintah menepisnya dengan menyatakan, RUU Ormas lebih komprehensif serta rinci mengatur ormas berikut larangan dan sanksinya. (nINA susilo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com