Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengadilan Tipikor Seharusnya Tidak di Tiap Provinsi

Kompas.com - 20/08/2012, 10:47 WIB
Sandro Gatra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan tindak pidana korupsi dinilai seharusnya tidak dibentuk di 33 provinsi atau cukup di kota-kota besar. Pasalnya, jika dibentuk di seluruh provinsi, maka sulit untuk melakukan pemantauan para hakim.

Hal itu dikatakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan secara terpisah di Jakarta, Senin (20/8/2012).

Keduanya dimintai tanggapan penangkapan hakim Kartini Juliana Magdalena Marpaung yang bertugas di Semarang dan hakim Heru Kisbandono yang bertugas di Pontianak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka ditangkap seusai upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI dengan barang bukti uang tunai Rp 150 juta.

"Dulu kita berharap jangan terlalu banyak pengadilan tipikor. Tidak usah di tiap provinsi. Tapi oleh pemerintah periode lalu dipaksakan supaya tiap provinsi ada. Itu lah akibatnya kontrolnya jadi tidak ada," kata Jimly.

Trimedya mengatakan, ketika pembahasan pembentukan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor), para politisi Komisi III menginginkan agar pengadilan tipikor hanya dibentuk tak lebih dari 10 kota agar mudah dikontrol. Namun, kata dia, desakan dari publik ketika itu kuat sehingga pengadilan tipikor dibentuk di setiap provinsi.

"Dulu kami berpikir di kota-kota besar, misalnya Medan, Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar. Sekarang sudah di 33 provinsi. Bagaimana kontrolnya? Ini kan problemnya selalu kontrol," kata Trimedya.

Trimedya menilai pengadilan tipikor masih tetap diperlukan atau jangan persidangan kasus korupsi dikembalikan ke pengadilan negeri. Hanya saja, kata dia, jika UU Pengadilan Tipikor itu direvisi nantinya, pengadilan tipikor sebaiknya dibentuk hanya di kota besar.

Selain mempermasalahan keberadaan pengadilan tipikor di tiap provinsi, Trimedya dan Jimly juga menilai ada masalah dalam proses rekrutmen hakim, khususnya hakim ad hoc. Keduanya meminta agar proses seleksi selanjutnya dilakukan lebih ketat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

    Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

    Nasional
    Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta Bersama Pengacara

    Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta Bersama Pengacara

    Nasional
    Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

    Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

    Nasional
    Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

    Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

    Nasional
    Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

    Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

    Nasional
    Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

    Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

    Nasional
    Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

    Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

    Nasional
    Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

    Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

    Nasional
    Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

    Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

    Nasional
    Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

    Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

    Nasional
    Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

    Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

    Nasional
    Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak 'Heatwave'

    Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak "Heatwave"

    Nasional
    Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar, tapi dari Bawah

    Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar, tapi dari Bawah

    Nasional
    Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

    Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

    Nasional
    Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

    Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com