JAKARTA, KOMPAS.com - Polri seharusnya menyerahkan penyidikan dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika KPK telah menangani kasus korupsi, kepolisian dan kejaksaan tak lagi berwenang menyidik kasus yang sama.
Kewenangan KPK tersebut tertera dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 50 Ayat 1, 3, dan 4 sudah jelas bahwa KPK lebih dulu melakukan penyidikan.
Ayat 3 menyebutkan, ”Dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan”.
Pasal 4 menegaskan, ”Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/ atau kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan tersebut segera dihentikan”.
Persaingan atau kesan polisi tidak ingin menyerahkan penyidikan kasus itu kepada KPK yang telah menetapkan dua jenderal, yaitu Irjen Djoko Susilo dan Brigjen (Pol) Didik Purnomo sebagai tersangka, makin terlihat setelah kepolisian juga menetapkan lima tersangka.
Atas nama UU, KPK pun mengimbau Polri menyerahkan penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM itu untuk membantu dan mendukung KPK.
”Kalau kami ingin patuh pada undang-undang, seyogianya institusi lain membantu, men-suport KPK. Kalau berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pada Pasal 50 Ayat 1, 3, dan 4 sudah jelas di situ dimaksudkan bahwa KPK lebih dulu melakukan penyelidikan. Fungsi institusi lain bekerja sama membantu KPK,” kata Ketua KPK Abraham Samad di Jakarta, Kamis (2/8/2012).
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, KPK telah menetapkan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM itu ke penyidikan sejak 27 Juli lalu. Dengan demikian, kata Bambang, instansi penegak hukum lain hendaknya menghentikan penyidikan kasus ini.
Jaksa Agung Basrief Arief mendukung sikap tegas KPK. Menurut Basrief penanganan kasus dugaan korupsi simulator SIM ini harus mengacu pada UU. Terkait adanya nota kesepahaman (MOU) antarinstansi penegak hukum, Basrief mengatakan, tetap harus berpatokan pada UU dan tak boleh melanggar. ”Jelas dong, MOU itu enggak boleh bertentangan dengan UU. Saya kira (penanganan kasus ini) mengacu ke UU,” katanya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendukung KPK untuk melakukan penyidikan atas kasus tersebut karena KPK memiliki kewenangan kuat untuk memeriksa aparat penegak hukum. ”Ada preseden beberapa kasus yang ditangani internal oleh kepolisian tidak berjalan. Contohnya kasus rekening gendut perwira Polri sampai sekarang tidak terungkap. Lebih baik kasus ini ditangani KPK,” kata Agus Sunaryanto, Ketua Divisi Investigasi ICW.
Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki, penyidikan oleh KPK dianggap lebih dipercaya, lebih independen, dan tidak bermasalah dengan kemungkinan konflik kepentingan.
”Polri semestinya menghormati UU itu. Jika terus melanjutkan penyidikan pada kasus ini, artinya Polri mengabaikan aturan hukum. Ini preseden buruk dan melawan spirit reformasi bidang hukum,” katanya.
Teten mengingatkan, dalam struktur pemberantasan korupsi, KPK berada pada posisi di atas lembaga-lembaga lain.
Pakar hukum pidana dari Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang, Karolus Kopong Medan, di Kupang, juga mengatakan, akan lebih obyektif jika penanganan kasus tersebut sepenuhnya diserahkan kepada KPK. ”Polri seharusnya kooperatif dan bahkan sangat diharapkan agar berada di garda paling depan untuk memerangi berbagai kasus korupsi, termasuk kasus korupsi yang melibatkan jajarannya,” kata Karolus.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, mengatakan, KPK berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan kasus korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.