Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kurikulum Berbasis Kekerasan

Kompas.com - 03/08/2012, 02:06 WIB

Buktinya, proses internalisasi kekerasan sebetulnya berlangsung dalam mekanisme pendidikan yang pincang. Suka atau tidak, isu besar pemerintah yang dirangkum dalam pembentukan watak sebetulnya masih jadi utopia. UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mencantumkan tujuan pendidikan adalah menghasilkan orang yang cerdas dan berakhlak mulia. Namun, pada praktiknya, dalam sistem pendidikan di sekolah dasar dan menengah hanya mengenal kurikulum tingkat satuan pendidikan yang diterjemahkan melalui standar kompetensi dasar dan standar kompetensi lulusan.

Item-item standardisasi pengetahuan itu sudah terpola sedemikian rupa. Melenceng satu item saja berdampak terhadap skor siswa dalam kelulusan. Lihat saja, keberhasilan pendidikan selalu diukur dari skor kognitif yang mampu menjawab benar semua pertanyaan pilihan ganda. Skor tersebut dapat diperoleh bila guru mampu menyampaikan bahan ajar melalui pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan.

Pertanyaan sederhana yang selalu muncul, item-item apa yang bisa diturunkan dari definisi berakhlak mulia? Akronim apa yang bisa dipraktikkan secara mudah oleh para guru sebagai pelaksana? Tentulah bukan sekadar mampu menghafal ayat suci, mencium tangan, atau mempraktikkan cara beribadah yang benar. Karena itu, tidak sulit mengatakan bahwa peraturan perundang-undangan tidak menjamin adanya indikator berakhlak mulia bisa beroperasi secara optimal. Hal yang sungguh-sungguh terjadi, mekanisme formal baru bisa berjalan manakala kejadian-kejadian yang terkait moralitas menimpa peserta didik, seperti hamil di luar pernikahan, tawuran antarpelajar, penyalahgunaan narkoba, serta kasus-kasus lain yang sejenis. Di luar itu, mekanisme pendidikan kembali pada orientasi mengejar standar kelulusan. Tidak aneh, pengejaran peserta didik baru ditentukan oleh reputasi sekolah yang mampu meluluskan semua peserta didiknya.

Kurikulum siluman

Bila dilihat dari perspektif psikologi pendidikan, disadari atau tidak, kekerasan itu telah meresap ke dalam kesadaran peserta didik sebagai media sosial yang efektif. Melukai yunior dianggap kemampuan menunjukkan identitas dominasi dalam kelompok. Karena, sebagai media interaksi, kekerasan juga menjadi solusi atas problem-problem sosial yang muncul kemudian. Bertindak menyimpang dianggap unsur keberanian dalam pembentukan identitas. Kasus-kasus kekerasan dengan pelaku remaja yang tersebar di media massa, jejaring sosial, serta media sosial lain memperkuat pernyataan di atas.

Bila logika itu dipahami, cukuplah fakta-fakta tersebut menunjukkan betapa pemerintah telah gagap menerjemahkan visi sampai pada tingkat operasional yang mampu dipahami oleh para pelaksana. Pengembangan pendidikan kehilangan fokus. Konsentrasi di pusat pengembangan tenaga pendidikan seperti hilang prioritas. Pendeknya begini: organ-organ fungsional pendidikan tidak memiliki kemampuan mendeteksi salah bentuk karakter yang secara diam-diam sedang berlangsung.

SAIFUR ROHMAN Pengajar Program Doktor Ilmu Pendidikan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com