Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Renegosiasi Kontrak Freeport

Kompas.com - 02/08/2012, 02:55 WIB

Oleh Kurtubi

Ada semacam benang merah antara mencuatnya kasus Churchill Mining Plc—sebuah perusahaan tambang Inggris—yang menggugat Pemerintah RI di Arbitrase Internasional dengan alotnya proses renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan antara Pemerintah RI dan Freeport McMoran.

Freeport adalah perusahaan tambang AS, pemegang kontrak karya (KK) pertambangan di Papua. Churchill menggugat Pemerintah RI

2 miliar dollar AS (sekitar Rp 19 triliun) karena merasa dirugikan sebab izin usaha pertambangan (IUP) yang sudah diperoleh dicabut Bupati Kutai Timur. Pencabutan IUP itu oleh Pemerintah RI dinilai sah karena sudah memenuhi prosedur dan ketentuan yang berlaku. Apakah gugatan yang dilayangkan ke pengadilan arbitrase di International Centre for Settlement of Investment Dispute di Washington, AS, ini akan ditolak atau dikabulkan, tergantung argumentasi, dalil, dan bukti sah yang dimunculkan pemerintah di Pengadilan arbitrase.

Karena Pemerintah RI menjadi ”pihak yang berperkara/tergugat”, semua aset pemerintah, termasuk pesawat Garuda, gedung KBRI di luar negeri, misalnya, berpotensi disandera jika pemerintah kalah di pengadilan arbitrase. Tentu ini sangat riskan dan seharusnya bisa jadi pelajaran yang sangat penting. Di samping kedaulatan negara terancam hilang/dilecehkan, negara berpotensi dirugikan secara finansial jika pengelolaan kekayaan tambang dan migas nasional didasarkan atas pola hubungan langsung antara pemerintah dan investor (business-to-government/B to G). B to G itu bisa dalam bentuk ”pemberian izin” oleh pemerintah kepada investor, seperti model IUP di bidang tambang, atau ”kontrak/perjanjian” antara pemerintah dan investor, seperti model KK di bidang tambang dan model kontrak kerja sama (KKS) di bidang migas.

Di sinilah letak benang merah antara kasus Churchill dan alotnya renegosiasi antara pemerintah dan Freeport. Kedua hal ini konsekuensi dari bentuk pola hubungan langsung antara pemerintah dan perusahaan tambang atau perusahaan migas internasional. Dalam kasus Churchill, dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), pemerintah (bupati) diberi wewenang penuh mengeluarkan IUP kepada investor sehingga setiap investor harus berhubungan atau tawar-menawar langsung dengan bupati. Kewenangan yang diberikan UU Minerba kepada pemerintah daerah tak diimbangi sistem yang akuntabel, transparan, serta kontrol, koordinasi, dan sumber daya manusia memadai.

Dengan demikian, penerbitan IUP sangat riskan jadi ajang ”perburuan rente”. Meskipun UU Minerba baru berlaku sekitar dua tahun, IUP yang sudah dikeluarkan sangat banyak, sekitar 10.500, sebagian besar bermasalah, termasuk tumpang tindih lahan, seperti dalam kasus Churchill. Pemerintah menyortir dengan kebijakan clear and clean. Ternyata yang tak lulus clean and clear masih sangat banyak. Di sini jelas terlihat, model UU Minerba bukanlah cara pengelolaan kekayaan tambang mineral dan batubara yang tepat.

Pemilik: negara atau investor?

Investor yang berhasil memperoleh IUP dari pemda/bupati seolah telah memperoleh konsesi yang diidentikkan dengan hak menambang dan hak memiliki bahan tambang yang ada di wilayah IUP. Churchill menggugat Pemerintah RI meski yang mengeluarkan dan mencabut IUP adalah bupati. Churchill kemungkinan menganggap potensi bahan tambang di wilayah IUP yang dicabut miliknya.

Pasalnya, UU Minerba No 4/2009 yang terdiri dari 175 pasal, termasuk Pasal 4 Ayat 1 dan ayat 2 yang hanya menyebut kata ”dikuasai” negara, sama sekali tak menyebutkan bahwa cadangan bahan tambang mineral dan batubara di perut bumi adalah milik negara atau rakyat. Yang terjadi sebaliknya. Dalam Pasal 92 dinyatakan, hak kepemilikan atas bahan tambang diberikan ke pemegang IUP jika ia telah membayar iuran eksplorasi atau iuran produksi (royalti) yang sangat kecil (sekitar 1 persen untuk emas), sangat tak sebanding dengan hak kepemilikan atas bahan tambang yang diperoleh investor.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com