Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Emir Moeis Nikmati Uang Suap di Paris

Kompas.com - 27/07/2012, 09:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Sebagian uang suap yang diduga diberikan PT Alstom Indonesia kepada Ketua Komisi XI DPR Izedrik Emir Moeis diduga dinikmati politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut di Paris.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto mengatakan, IEM (Izedrik Emir Moeis) diduga menerima hadiah atau janji terkait proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tarahan, Lampung, tahun 2004.

”Diduga yang menerima suap adalah IEM dan yang memberi suap itu AI (Alstom Indonesia). Uang (suap) yang diduga menjadi dasar tuduhan itu lebih dari 300.000 dollar Amerika Serikat,” kata Bambang, Kamis (26/7/2012), di Jakarta.

Namun, Bambang belum bisa merinci lebih lanjut terkait aliran dana yang diberikan PT Alstom kepada Emir. Bambang hanya mengatakan, Emir diduga melanggar Pasal 5 Ayat 2, Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Informasi yang diperoleh Kompas, KPK mendapatkan bukti-bukti adanya aliran dana dari PT Alstom ke Emir. Bukti-bukti ini antara lain diperoleh berkat kerja sama KPK dengan Biro Investigasi Federal AS (Federal Bureau of Investigation/FBI).

Kerja sama antara KPK dan FBI ini dilakukan karena dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi melibatkan warga negara AS dan korporasi asing (PT Alstom). Warga negara AS yang diduga bagian dari PT Alstom dan berperan sebagai pemberi suap telah diamankan FBI. Namun, Bambang menolak berkomentar soal kerja sama dengan FBI ini.

Kerja sama antara FBI dan KPK ini juga melacak uang suap yang diberikan oleh warga negara AS ke Emir. Data yang terlacak antara lain menyebutkan, sebagian uang suap dinikmati Emir di Paris, Perancis. Uang itu digunakan untuk membayar jasa hiburan khusus laki-laki dewasa.

Salah seorang pejabat KPK ketika dikonfirmasi mengenai hal ini hanya mengatakan, ”Lihat saja nanti di dakwaan.”

Diundang

Kepada Kompas, Emir mengakui pernah berhubungan dengan orang dekat PT Alstom ketika berkunjung ke AS. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, Emir mengaku diundang orang dekat PT Alstom ke Paris. ”Saya hanya mampir karena diundang,” ujarnya.

Emir mengaku heran disebut menerima suap terkait tender boiler PLTU Tarahan yang dimenangkan PT Alstom. Saat tender tersebut, dia tak lagi di Komisi Energi DPR, tetapi sudah di Komisi Keuangan DPR atau Komisi IX saat itu.

Terkait penyidikan kasus ini, KPK telah menggeledah tiga tempat, Kantor PT Alstom di Pondok Pinang, rumah Emir di Kalibata, dan rumah Direktur Utama PT Artha Nusantara Utama Zuliyansyah Putra Zulkarnain di Jagakarsa, Jakarta.

Sementara itu, Ketua Bidang Hukum DPP PDI-P Trimedya Panjaitan meminta KPK menegur Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Hal itu terkait pernyataan Denny bahwa dalam surat permohonan pencegahan terhadap Emir, KPK menuliskan status Emir sebagai tersangka dalam kasus PLTU Tarahan. menurut Trimedya, hanya KPK yang berhak mengumumkan status itu.

Kemarin, KPK akhirnya secara resmi mengumumkan status Emir sebagai tersangka dalam kasus PLTU Tarahan. (BIL/RAY/NWO)

 
Baca juga: Inilah Sejumlah Kasus yang Diduga Libatkan Emir Moeis

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Nasional
    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

    Nasional
    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    Nasional
    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    Nasional
    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Nasional
    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Nasional
    'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    "Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    Nasional
    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Nasional
    Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

    Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

    Nasional
    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Nasional
    Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Nasional
    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

    Nasional
    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Nasional
    Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Nasional
    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com