Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Lidah Air Menjilat Kota Padang...

Kompas.com - 27/07/2012, 04:27 WIB

Selasa (24/7) pukul 18.00, Fauzan (42) melewati Jembatan Kuto Panjang, di Kelurahan Limau Manis, Padang, Sumatera Barat. Kala itu, ia melihat permukaan Sungai Kuranji sudah naik 2 meter dan hampir menyentuh badan jembatan.

Ia tidak terlalu menghiraukan karena permukaan air sungai itu kerap naik antara Juni dan Juli. ”Rupanya banjir kemarin lain dari yang sebelumnya. Kalau terlambat pulang dari kebun, mungkin ikut hanyut bersama jembatan,” ujarnya, Kamis (26/7)

Penyeberangan pada Selasa petang itu adalah penyeberangan terakhir Fauzan di Jembatan Kuto Panjang. Sekitar 30 menit setelah ia lewat, badan jembatan diterjang air yang menghanyutkan ribuan kubik pasir dan batu serta kayu-kayu besar. Badan jembatan hancur, hanya tersisa fondasi dan sebagian bentang tengah saja.

Hari itu, Fauzan bersama warga di sisi timur Padang kembali mendengar kosakata yang lama tidak terucap: lidah air dan galodo. Dua kata itu sudah lama dikenal orang Minang dalam hikayat mereka. ”Ada hikayat, kalau sudah gabag dahulu, jangan main di sungai,” ujarnya.

Hikayat itu mengajarkan orang Minang mengenal bahaya yang bisa ditimbulkan oleh air. Bila akan hujan deras di bagian hulu, masyarakat diajarkan segera menjauhi sungai. Sebab, banjir bisa datang tiba-tiba. ”Orang Minang menyebutnya lidah air atau banjir yang datang tiba-tiba,” ujarnya.

Warga setempat juga mengenal kata galodo untuk menggambarkan tanah longsor. Ribuan kubik batu dan lumpur serta ratusan batang pohon yang hanyut dipandang sebagai galodo. ”Sudah lama tidak ada galodo, walau kami tahu sewaktu-waktu daerah ini akan terkena jilatan lidah air dan galodo,” ujarnya.

Jilatan itu merusak 534 rumah dan enam jembatan. Empat bendungan di sisi timur Padang juga rusak. Banjir menerjang 20 kelurahan di Kecamatan Pauh, Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan, Kuranji, dan Nanggalo. Kecamatan-kecamatan itu dilalui Sungai Kuranji dan Sungai Gunung Nago yang luapannya membawa ribuan kubik batu dan lumpur serta batang pohon besar.

Ratusan orang sempat mengungsi pada Selasa malam. Sisanya masih bertahan di pengungsian hingga Kamis. Sebab, rumah mereka rusak berat atau masih diendapi lumpur setinggi 30 sentimeter. ”Belum habis minum segelas, saya sudah diajak lari. Belum hilang haus setelah puasa sehari, sudah harus haus-haus lagi,” ujar Jusniar (62), warga Bandar Gadang.

Jusniar adalah salah seorang warga yang tidur di tenda pengungsian hingga Kamis sore. Tidak ada pilihan karena rumahnya masih diendapi lumpur. Nenek itu tinggal di salah satu tenda yang didirikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Tenda didirikan 30 meter dari rumahnya. Namun, lokasi tenda lebih tinggi 2 meter dibandingkan rumahnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com