Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi Putaran Kedua Pilkada

Kompas.com - 19/07/2012, 02:09 WIB

Ketentuan pemenangan pasangan calon pemilu gubernur dan wakil gubernur DKI menganut prinsip mayoritas absolut (absolut majority). Pasal 11 Ayat (1) UU No 29/2007 menyatakan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50 persen ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, diadakan putaran kedua, diikuti pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.

Prinsip mayoritas absolut itu berbeda dengan pengaturan dalam UU No 32/2004 yang memberi ruang kemenangan angka di bawah 50 persen (simple majority). Awalnya, dukungan suara lebih dari 25 persen saja bisa ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah terpilih. Bahkan, pada Perubahan Kedua UU No 32/2004, meski persentase penentuan kemenangan calon dinaikkan, angka kemenangan masih dapat dengan mayoritas sederhana, yaitu dengan persentase lebih dari 30 persen.

Dibandingkan daerah lain, penentuan persentase kemenangan pasangan calon di DKI memang berbeda. Misalnya, pemilihan kepala daerah di Aceh, UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh mempersamakan besaran persentase kemenangan calon dengan UU No 32/2004. Begitu pula pemilihan kepala daerah di Papua. Meski UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua menyerahkan tata cara pemilihan gubernur kepada perda khusus, penyusunannya tetap berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Masalahnya, apakah prinsip mayoritas absolut itu menjadi sebuah kekhususan model pemilihan di DKI?

Masalah ini tidaklah sederhana dan tidak mudah untuk dijawab secara tuntas. Namun, kalau dikaitkan dengan Aceh dan Papua, kedua daerah ini memang memiliki karakter khusus yang membedakan dengan daerah lain. Aceh, misalnya, memiliki ciri khusus yang berbeda dari daerah lain, terutama adanya kesempatan bagi calon perseorangan. Ciri khusus itu jadi menonjol sebelum calon perseorangan diadopsi dalam UU No 12/2008.

Begitu pula Papua, UU No 21/2001 membuka ruang bagi Majelis Rakyat Papua memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur. Bahkan, Pasal 12 huruf a UU No 21/2001 secara eksplisit menentukan: calon gubernur dan wakil gubernur adalah orang asli Papua.

Apabila dibandingkan dengan rumusan dalam UU No 21/2001, UU No 11/2006, dan UU No 32/2004, ketentuan Pasal 11 UU No 29/2007 memang berpotensi dinilai diskriminatif. Namun dari segi waktu, pengajuan permohonan ini dapat dikatakan tidak tepat. Penilaian itu karena hasil putaran pertama pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI sudah diketahui. Tentunya, akan jauh berbeda sekiranya persoalan ini diajukan sebelum tahapan pemilihan di DKI dimulai.

Tunda pasca-putaran II

Tidak hanya pemohon, dengan terbentangnya hasil putaran pertama, permohonan ini menjadi masalah pelik bagi MK. Melihat situasi saat ini, mengabulkan permohonan MK dapat saja dinilai berpihak kepada pasangan Jokowi-Ahok. Sebaliknya, menolak permohonan dapat saja MK dinilai berpihak kepada duet Foke-Nara. Karena itu, menjadi lebih elok dan tepat jika permohonan diselesaikan setelah putaran kedua dilaksanakan.

Di atas itu semua, disadari atau tidak, mempermasalahkan keabsahan konstitusional dasar hukum putaran kedua berpotensi merugikan pasangan Jokowi- Ahok. Meski pemohon tidak berasal dari kubu pasangan tersebut, sangat mungkin muncul penilaian bahwa Jokowi-Ahok tidak siap menghadapi putaran kedua.

Namun, yang pasti, hakim bukan pemilih. Jadi, pemenang pemilu tidak ditentukan oleh putusan pengadilan.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com