Penilaian itu disampaikan salah satu pejabat Amerika Serikat yang minta dikutip dalam kondisi anonim, Kamis (12/7). Menurut pejabat AS itu, kebuntuan terjadi lantaran masih ada perbedaan pandangan, terutama antara pihak tuan rumah, Kamboja, dan Filipina.
”Selama ini belum pernah terjadi ASEAN gagal mencapai kata sepakat, bahkan dalam kondisi tersulit sekalipun,” ujarnya.
Kesepakatan tentang isi komunike bersama masih belum tercapai hanya beberapa jam sebelum rangkaian pertemuan rutin tingkat menlu ASEAN tersebut akan berakhir.
”Pihak Filipina berkeras sengketa dan insiden yang terjadi bulan lalu antara mereka dan China di wilayah Beting Scarborough harus dicantumkan (dalam komunike bersama),” kata pejabat AS itu.
Namun, keinginan Filipina itu ditentang Kamboja, Ketua ASEAN tahun ini yang dikenal sebagai sekutu dekat China.
Seorang diplomat lain, yang juga minta dikutip secara anonim, menyebut kuatnya tekanan sebuah ”negara besar” kepada salah satu negara ASEAN dalam persoalan ini.
Diduga kuat, negara besar yang ia maksudkan adalah China, yang menekan Kamboja agar mengikuti kemauan China dalam persoalan ini.
Keterangan itu diperkuat pernyataan Menlu Filipina Albert del Rosario, yang menyebut China telah ”mengintimidasi” dan ”bermuka dua” dalam persoalan itu.
”Jika kedaulatan dan yurisdiksi Filipina dapat direndahkan oleh negara adidaya melalui tekanan, intimidasi, ancaman, dan sikap bermuka dua, masyarakat internasional harus khawatir dengan perilaku-perilaku seperti itu,” ujar Del Rosario dalam pernyataan resmi.
Dalam kesempatan terpisah, Menlu AS Hillary Clinton yang juga hadir di Phnom Penh, Kamboja, mendesak seluruh negara terkait segera bisa menjelaskan klaim teritorial masing-masing di Laut China Selatan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku.
Hal itu termasuk penuntasan penyusunan kode etik berperilaku (COC) di Laut China Selatan, yang akan disepakati dan diterapkan bersama demi mencegah konfrontasi.
Hillary menambahkan, Pemerintah AS juga menginginkan adanya kesepakatan bersama dalam proses eksplorasi seluruh potensi kekayaan alam di kawasan perairan itu.
Selain menjadi salah satu jalur transportasi laut terpenting dunia, Laut China Selatan juga diyakini kaya sumber minyak dan gas bumi. Berdasarkan data Badan Informasi Energi AS tahun 2008, wilayah itu diduga menyimpan kandungan minyak hingga 213 miliar barrel.
Selama ini AS mengklaim sangat berkepentingan untuk melibatkan diri dalam isu Laut China Selatan demi menjaga kebebasan navigasi di kawasan itu. Hal itu sangat beralasan mengingat separuh dari total lalu lintas perdagangan dunia diangkut melalui jalur laut itu.