Dalam konteks itu, kedua belah pihak perlu melakukan komunikasi simbolik (symbolic communication). Ini adalah istilah yang muncul dari diskursus tentang interaksionisme simbolik dan semiotika. Komunikasi simbolik di sini bukan hanya dalam pengertian sempit sebagai bentuk komunikasi nonverbal, melainkan juga dalam pengertian luas sebagai bentuk komunikasi untuk mencapai resolusi konflik.
Komunikasi simbolik berangkat dari premis bahwa solusi final atas persoalan Papua sulit dicapai melalui pendekatan top down (atas inisiatif/tawaran Jakarta) ataupun pendekatan bottom up (berdasarkan usulan/tuntutan dari Papua). Upaya mencapai solusi final atas persoalan di Papua harus dari sejak awal melibatkan kedua belah pihak (both sides) secara paralel dan simultan. Ini artinya penyelesaian masalah Papua harus berbasis dialog.
Telah terbukti, tawaran apa pun yang muncul dari Jakarta selalu ditampik oleh Papua. Pengembalian Otonomi Khusus Papua dan penolakan terhadap Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat adalah contoh nyata. Sebaliknya, apa pun yang diusulkan/dituntut oleh Papua cenderung dicurigai Jakarta sebagai agenda separatisme atau internasionalisasi masalah.
Melalui komunikasi simbolik, setiap pihak mengekspresikan pesan positif kepada pihak lain guna mengikis sikap saling curiga dan sekaligus membangun kepercayaan. Untuk itu, Jakarta memulainya dengan pesan positif segera mengakhiri pendekatan keamanan/militeristik (sekuritisasi) di Papua.
Ide menambah jumlah pasukan di Papua merupakan pesan negatif yang justru merumitkan persoalan. Pesan positif ini bukanlah harga yang terlampau tinggi demi memastikan Papua tetap di pangkuan Ibu Pertiwi.
Sementara Papua memulainya dengan pesan positif komitmen keindonesiaan/NKRI sebagaimana telah dilakukan oleh fungsionaris Gerakan Aceh Merdeka sejak 2005. Mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai ekspresi resistensi, bukan sebagai ekspresi kultural, adalah pesan negatif yang justru meruncingkan ketegangan. Pesan positif ini bukan harga yang sangat mahal demi terwujudnya Papua damai.
Jika pesan positif telah saling diterima, kecurigaan akan tertepis dan kepercayaan akan terbangun. Jakarta tak mempunyai lagi justifikasi terus melabeli separatisme terhadap Papua. Papua pun tak memiliki justifikasi lagi terus menunjuk Jakarta sebagai sumber penderitaan.
Komunikasi simbolik merupakan fondasi memulai komunikasi konstruktif, komunikasi aktif, atau dialog. Komunikasi simbolik sebagai barometer menguji keseriusan Jakarta dan Papua mengakhiri nestapa di Papua secara tuntas dan damai.