Nilai-nilai harmoni itu bisa diwakili dari pengaturan pembagian air yang adil antar petani. Semua dirembukkan secara bersama-sama, demikian juga penetapan waktu tanam dan jenis padinya.
Di Jatiluwih, petani wajib menanam padi lokal yang kebanyakan menghasilkan beras merah pada musim penghujan sekitar awal Januari, baru di musim tanam kedua sekitar bulan Juli petani boleh menanam palawija atau padi jenis lainnya.
"Bukan hanya jenis padinya tapi waktu penanaman harus serempak. Tujuannya untuk mengurangi hama," kata Wirata.
Hubungan harmonis itu berjalan turun-temurun. Jika ada pelanggaran, warga sendiri yang menentukan sanksinya. "Yang melanggar harus membuat upacara di pura," katanya.
Aspek-aspek filosif dalam tradisi agraris masyarakat Bali itu menurut Alit menyebabkan tim pembuat proposal mengajukan empat lokasi sebagai nominasi warisan dunia. Lokasi itu antara lain Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, Daerah Aliran Sungai Pakerisan, Caturrangga Batu Karu (termasuk Jatiluwih), serta Pura Taman Ayun.
"Keempat situs itu bukan cluster tapi satu kesatuan," kata Alit.
Di Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur misalnya, masyarakat Bali percaya di sanalah dewi kesuburan beristana sehingga sebelum panen petani melakukan sembahyang di sana. "Danau Batur sendiri merupakan wujud kesuburan dalam bentuk air yang mengairi subak-subak," paparnya.
Sementara itu di DAS Pakrisan, Tampak Siring, dipercaya sebagai lahirnya sistem subak yang sampai sekarang masih bertahan. Sedangkan Catur Rangga Batu Karu adalah daerah penyangga yang mengatur keseimbangan. Di sini juga banyak terdapat pura-pura.
Sedangkan Pura Taman Ayun dipercaya sebagai pura yang mengatur subak di Tabanan Timur dan Badung Barat. "Para petani memohon tirta suci di tempat itu," imbuhnya.
Subak yang sudah berusia lebih dari seabad itu, menurut Alit, sangat penting untuk dilestarikan. Masyarakat Bali sangat berharap Subak ditetapkan sebagai warisan dunia yang harus dijaga. Kini mereka masih menunggu keputusan UNESCO yang mulai 24 Juni 2012 - 6 Juli 2012 sedang bersidang.
"Tetapi ditetapkan atau tidak, kita wajib melestarikannya," kata Alit.
Senada dengan Alit, Masanori Nagaoka, Kepala Unit Budaya Kantor UNESCO Jakarta, menegaskan bahwa penetapan World Heritage hanyalah alat untuk mendukung pelestarian.
"Penetapan tersebut bukan tujuan akhir, tetapi sebuah awal bahwa masyarakat Indonesia berjanji pada dunia untuk melestarikan situs yang tercantum," kata Masanori.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.