Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dialog sebagai Upaya Membangun Perdamaian di Papua

Kompas.com - 25/06/2012, 02:36 WIB

Tak bisa dimungkiri, Indonesia adalah realitas kemajemukan dari sisi suku, ras, serta agama. Karena itu, dialog menjadi sebuah keniscayaan dalam membangun kehidupan berbangsa.

Keyakinan inilah yang mendorong Neles Kebadabi Tebay Pr untuk terus-menerus menulis tema-tema dialog sebagai upaya mengurai konflik di tanah Papua. Pastor dari Keuskupan Jayapura ini sangat yakin, dialog antara pemerintah dan masyarakat Papua atau dialog Jakarta-Papua adalah cara modern, demokratis, dan beradab untuk mencari solusi terbaik bagi permasalahan Papua.

Bagi Neles Tebay, kekerasan dengan motivasi dan tujuan apa pun tidak akan pernah menyelesaikan masalah Papua. Cara-cara itu justru semakin merendahkan martabat manusia dan menginjak-injak nilai perdamaian yang diperjuangkan.

Pada dasarnya manusia diciptakan dengan akal sehat, kehendak, perasaan, dan hati nurani. Karena itu, siapa pun pasti memiliki kemampuan berkomunikasi dan berdialog dengan orang lain, termasuk pemerintah dan masyarakat Papua.

Dorongan untuk dialog demi terwujudnya perdamaian di Papua terus-menerus disampaikan Neles Tebay lewat tulisannya. Mengurai gagasannya, berikut wawancara dengan Neles Tebay di Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Sejak sepuluh tahun lalu, Anda mengamati dan menulis upaya dialog di Papua. Menurut Anda, bagaimana kondisi Papua sampai saat ini?

Secara umum, kondisi di Papua saat ini, orang tidak merasa nyaman dan aman. Ketidaknyamanan dan ketidakamanan ini tidak hanya dirasakan masyarakat asli Papua, tetapi juga siapa pun yang kini tinggal di Papua. Kekerasan muncul bagaikan asap.

Dia bukan masalah, melainkan akibat. Asap pasti muncul karena ada api. Selama faktor penyebabnya belum ditemukan, selama itu pula kekerasan-kekerasan akan terus terjadi dan mengganggu pembangunan dan kedamaian di Papua.

Apa penyebab kekerasan yang selama ini terjadi di Papua?

Menurut saya, penyebab utama kekerasan di Papua adalah munculnya dua paradigma yang berbeda dan bertentangan antara pemerintah dan masyarakat Papua. Di satu pihak pemerintah mempunyai paradigma separatisme. Mereka melihat dan mencurigai masyarakat Papua sebagai menyiapkan gerakan separatis. Setiap kegiatan budaya di Papua dicap separatis, setiap suara yang memperjuangkan hukum dan perdamaian juga dicap separatis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com