Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kita Tak Ingin Negara Gagal

Kompas.com - 21/06/2012, 02:00 WIB

Menurut Daron Acemoglu, profesor ekonomi Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan James Robinson, profesor politik dan ekonomi Universitas Harvard, dalam sebuah artikel di laman majalah Foreign Policy, Senin (18/6), kegagalan suatu negara tidak terjadi tiba-tiba dalam waktu semalam. Bibit-bibit kegagalan itu sebenarnya sudah tertanam jauh di dalam berbagai institusi politik kenegaraan, terkait bagaimana sebuah negara dijalankan.

Penulis buku Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty itu membahas mengapa ada beberapa negara di dunia yang sangat sukses secara ekonomi, tetapi ada juga yang tetap miskin dan terpuruk.

Ada beberapa negara yang mengalami kegagalan tiba-tiba dan spektakuler, seperti Afganistan setelah pasukan Uni Soviet mundur akhir 1980-an. Namun, sebagian besar negara gagal tidak secara mendadak. Negara-negara itu tidak gagal karena perang, tetapi lebih karena gagal memberdayakan potensi pertumbuhan rakyatnya yang besar.

Menurut Acemoglu dan Robinson, yang paling tragis dari kegagalan di sebagian negara tersebut adalah karena disengaja. Negara-negara tersebut runtuh setelah dikuasai institusi-institusi ekonomi ”ekstraktif”, yang merusak daya dorong ekonomi, melemahkan setiap usaha inovasi, melemahkan bakat dan potensi warga negaranya dengan menciptakan medan permainan yang tidak adil, dan menghilangkan kesempatan warga untuk maju.

Dalam indeks negara gagal itu, situasi Indonesia dinilai memburuk, terutama di tiga indikator dari total 12 indikator yang digunakan dalam penyusunan indeks tersebut. Ketiga indikator itu adalah tekanan demografis, protes kelompok minoritas, dan hak asasi manusia. Bagaimanapun, Indonesia diakui berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dan melakukan reformasi politik beberapa tahun terakhir.

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Hariyadi B Sukamdani mengatakan, kalangan pengusaha merasakan bagaimana kualitas penegakan hukum dan jaminan keamanan menurun beberapa tahun terakhir. Kondisi itu cukup mengkhawatirkan. Hariyadi mencontohkan, cetak biru pembangunan nasional cukup jelas dalam Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, tetapi menghadapi masalah koordinasi.

”Kalau negara itu rapi, jumlah sengketa pasti turun. Masalah serius lain adalah manajemen pemerintahan berkait koordinasi dan kebijakan pemerintah daerah yang tumpang tindih dengan pusat sehingga merugikan investor,” ujar Hariyadi.

Namun, Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani mengatakan, kalau disebut sebagai negara gagal, sesungguhnya masih terlalu jauh. ”Kita masih ada yang bisa diharapkan asalkan ada kemauan dari semua pihak, terutama pemerintah, dalam menyusun kebijakan.”

Franky menilai, kebijakan yang tidak konsisten lambat laun bakal menggiring Indonesia sebagai negara gagal. Masalah infrastruktur dan penegakan hukum memang membutuhkan proses yang cukup lama.

Infrastruktur di Indonesia juga mendapat perhatian. Menurut Yopie, untuk memastikan proyek-proyek infrastruktur berjalan mulus, Wapres Boediono memutuskan untuk memantau hingga ke pelaksanaan proyek. ”Orang menilai, kok, sampai segitunya. Wapres seharusnya tidak perlu mengawasi detail teknis. Namun, itu dilakukan untuk memastikan fungsi-fungsi itu berjalan baik,” tuturnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com