Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Neneng dan Efek Dramatik Kejahatan

Kompas.com - 20/06/2012, 02:08 WIB

 

Acep Iwan Saidi

Di negeri ini korupsi adalah narasi, sebuah rangkaian peristiwa (Gennete, 1980). Sebagai narasi, tindak kejahatan tersebut melekat pada alur. Lazimnya alur, di dalamnya terdapat tahap pengenalan, konflik, gawatan, klimaks, leraian, dan akhiran.

Dalam pengelolaan alur dikenal dramatisasi; sebuah teknik bagaimana peristiwa pada cerita diolah hingga tercipta efek dramatik. Efek ini tidak jarang menjadi fungsi utama cerita, sedangkan substansi kisahnya sendiri hanya katalisator. Saat membaca novel Tenggelamnya Kapal Vanderwijk karangan Hamka, misalnya, bukankah yang lebih berjejak dalam memori adalah dramatisasi nasib Zaenudin dan Hayati yang penuh air mata ketimbang hakikat hubungan cinta kasih di baliknya.

Demikianlah Neneng tiba-tiba hadir menjadi semacam efek kejut dramatik. Kita tahu, perempuan tersangka korupsi itu sudah lama menjadi buron. Pastilah kita berharap ia segera dapat ditangkap. Namun, manakala tertangkap, ternyata kita pun terkejut seraya menyusun berbagai dugaan: pulang, menyerahkan diri, ditangkap, dan seterusnya. Kehadiran Neneng menjadi semacam enigma, teka-teki yang seksi untuk dikisahkan.

Sadar sebagai tokoh utama dalam kisah, Neneng tampak tidak datang tanpa rencana. Beranalogi pada Roland Barthes (1984) tentang pengarang yang tidak pernah menulis dalam keadaan kosong, Neneng tidaklah bodoh. Periksalah, pada berita utama harian ini (14/6/2012), misalnya, Neneng tampak menggunakan turban yang menutupi kepala dan wajah. Ia juga menggunakan gaun panjang yang longgar. Seluruh tubuhnya nyaris terbungkus.

Efek dramatik

Bagi saya, visualisasi tersebut tidak berhenti pada pesan bahwa Neneng hendak bersembunyi dari kamera media massa. Justru sebaliknya, ia sedang ingin menampakkan diri secara utuh dalam fungsi dramatik narasi. Dalam perspektif imagologi, Neneng mungkin hendak mencipta image, semacam citra perempuan saleh, setidaknya telah bertobat.

Namun, terlalu permukaan jika tafsir selesai di situ. Efek dramatik adalah target yang jauh lebih strategis. Dan, Neneng merangkainya dengan lihai. Ia tak berkomentar saat diborgol seusai shalat ashar. Maka, dengan hal itu, paling tidak konsentrasi kita pada substansi kejahatannya menjadi buyar. Hemat ungkap, cara Neneng menghadirkan dirinya dapat disebut sebagai mekanisme pengaburan.

Dari pengaburan demikianlah kisah selanjutnya akan mengalur. Hampir dapat dipastikan bahwa dramatisasi tersebut akan bergulir terus dalam tempo tertentu. Inilah fase konflik narasi. Di sini, ketegangan demi ketegangan akan dibangun. Tokoh figuran, antara lain para pengacara, akan tampil menyubstitusi kehadiran tokoh utama.

Kini bisa kita lihat bahwa fungsi pengacara bukan hanya membela pesakitan di ruang sidang, melainkan juga justru lebih banyak bermain di ruang narasi. Agaknya mereka juga sadar bahwa pada kasus yang sebenarnya sudah jelas duduk soalnya secara hukum itu kehadirannya tidak pada posisi untuk menunjukkan secara hukum bahwa kliennya tidak bersalah, tetapi justru untuk mengaburkannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com