Adanya cacat hukum elementer pada Permen 12 yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah sangat ironis. Sebab, sudah seharusnya pemerintah sangat hati-hati dan matang dalam melakukan pengaturan, apalagi pembatasan, terhadap hak-hak rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Di sisi lain, fakta tersebut membuktikan: Permen 12 dibuat tanpa persiapan dan kajian yang matang dan menyeluruh sebagaimana dikekehendaki UU No 12/2011. Dengan kata lain ,Permen 12 hanya menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan.
Permasalahan paling mendasar pada Permen 12 adalah munculnya konsep berpikir transaksional pada jajaran pemerintah. Pemerintah selalu menghitung subsidi BBM kepada rakyat sebagai kebaikan (generousity) terhadap rakyat. Padahal, konstitusi secara jelas menegaskan bahwa menyejahterahkan rakyat adalah kewajiban pemerintah.
Tampak sekali pemerintah tak memahami substansi Pembukaan dan norma Pasal 33 UUD 1945. Pemerintah tak memahami konsep sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang jadi platform ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pemerintah terjebak dalam mekanisme berpikir ekonomi pasar bebas yang memang berupaya melepaskan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat.
Di pihak lain, pemerintah pun tidak cerdas mencermati bahwa ekonomi pasar bebas sebetulnya telah ditinggalkan Eropa yang sedang mengembangkan konsep sosial demokrasi. Juga ditentang rakyat AS yang telah menghujat corporate greed dalam berbagai unjuk rasa dengan frase: ”Banks got bailed out, we got sold out”.
Sudah saatnya dan seharusnya Indonesia merumuskan dan mengoperasionalkan sistem ekonomi Indonesia yang dikehendaki Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945 yang selama ini hanya sebatas ide. Sementara praktik dan kebijakan ekonomi pemerintah berjalan sendiri tanpa arah dan tuntunan konstitusi sebagai kesepakatan bernegara.