Para analis mengatakan, Rusia menjadi perisai kuat yang melindungi Suriah dari sanksi internasional selama 15 bulan krisis berlangsung. Saat Perancis, Inggris, dan AS mengisyaratkan perlunya aksi militer atas Suriah, Rusia dan China keberatan.
Namun, setelah pembantaian Houla, Jumat pekan lalu, yang menewaskan 108 warga sipil, Rusia balik mengecam rezim Assad. Ada bukti kuat pasukan Assad terlibat dalam pembantaian massal yang menyebabkan puluhan anak tewas.
Rusia sudah semakin kritis terhadap Assad. Pernyataan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov terbaru memberi satu tekanan luar biasa kuat. Lavrov pada hari Senin menegaskan, Rusia tidak mendukung pemerintahan Assad. Meski Lavrov mengatakan ada kelompok teroris di antara oposisi, dia tetap menyalahkan pemerintah Assad atas berbagai pembantaian warga sipil yang terjadi sejak Maret 2011.
”Pemerintah (Suriah) memiliki tanggung jawab utama atas apa yang sedang terjadi,” kata Lavrov di Moskwa seusai bertemu Menlu Inggris William Hague, Senin (28/5). ”Setiap pemerintah di negara mana pun bertanggung jawab atas keamanan warganya,” ujar Lavrov.
Kata para analis, insiden Houla telah menjadi titik balik atas krisis di Suriah. Moskwa pun dapat menekan Damaskus untuk putar haluan, menjadikan kasus Houla sebagai titik menghentikan kekerasan atau Damaskus akan kehilangan dukungan Moskwa.
Alexei Malashenko, pakar Timur Tengah di Carnegie Moscow Center, mengatakan, komentar Lavrov memberi kesan kuat bahwa Rusia mungkin akan mundur sebagai sekutu Damaskus. ”Bashar Assad membuat dirinya sendiri dan Rusia makin terpojok,” kata Malashenko. ”Bashar sadar dia bisa kehilangan dukungan Rusia dan dia mungkin akan melangkah mundur sedikit.”
Belum jelas benar, apakah pasukan Assad secara eksklusif harus disalahkan atas pembantaian 108 orang di Houla, kota yang terdiri atas desa-desa pertanian miskin di Provinsi Homs. PBB mengatakan, dari 108 orang tewas itu terdapat 49 anak dan 34 wanita.
Di tengah gelombang kecaman dan kemarahan dari berbagai penjuru dunia atas pembantaian di Houla, Komisi Tinggi HAM PBB, Selasa (29/5), memastikan sebagian besar korban dieksekusi dari jarak dekat. Hal itu dilihat dari luka yang dialami para korban.