Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenangan kepadamu Terentang dari Leiden hingga Jakarta

Kompas.com - 26/05/2012, 03:56 WIB

Sejak terjun di dunia akademik tahun 1940-an sampai bulan-bulan terakhir sebelum meninggal, A Teeuw tidak pernah berhenti berkarya. Bahkan sejak pensiun tahun 1986 ia tetap produktif menulis. Publikasi terakhirnya (ditulis bersama Willem van der Molen) adalah sebuah artikel berjudul ”A Old Javanese Bhomântaka and its floridity” yang dipersembahkan untuk Prof Lokesh Chandra (2011).

Beberapa buku karya A Teeuw sudah begitu dikenal oleh para peneliti sastra Indonesia. Sebutlah—untuk sekadar menyebut contoh— Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (terbit pertama kali dalam bahasa Inggris, 1967); Membaca dan Menilai Sastra (1992); dan Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1995). Kamus yang dieditorinya, Kamus Indonesia- Belanda (GPU, 1991), yang merupakan versi Indonesia dari Indonesisch-Nederlandsch Woordenboek (KITLV Press, 1990), telah beberapa kali dicetak ulang, dan sampai kini menjadi pegangan utama para penerjemah dan mahasiswa Belanda yang ingin belajar bahasa Indonesia.

A Teeuw telah menghasilkan beberapa publikasi tentang Pramoedya Ananta Toer dan karya-karyanya. Bersama mantan muridnya yang kemudian menjadi suksesornya sebagai profesor bahasa dan sastra Indonesia di Leiden, Henk Maeir, ia gigih memperkenalkan pengarang terkemuka Indonesia itu dalam wacana akademik internasional. Lewat upaya ini mereka berharap Pramoedya akan dinominasikan sebagai peraih Hadiah Nobel. Namun, sampai akhir hayat yang mempromosikan maupun yang dipromosikan, harapan itu tidak pernah jadi kenyataan.

Yayasan A Teeuw

Sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa akademis A Teeuw, pada 1992 Koninklijk Instituut voor Taal,- Land-, en Volkenkunde (KITLV) Leiden—lembaga penelitian dan perpustakaan terkaya di dunia yang menyimpan literatur dan berbagai jenis dokumen lainnya mengenai Indonesia—mendirikan The Professor Teeuw Foundation.

Sekali dua tahun yayasan itu memberikan penghargaan dan hadiah uang secara bergiliran kepada seorang Indonesia dan Belanda yang dinilai berjasa dalam meningkatkan hubungan akademik Indonesia–Belanda. Orang Indonesia yang telah menerima penghargaan ini, antara lain, Goenawan Mohamad (1992) dan Ajip Rosidi (2004).

Studi bahasa dan sastra Indonesia yang dirintis A Teeuw masih tetap eksis di Universitas Leiden sampai sekarang, walau di sana-sini terus menyesuaikan programnya mengikuti perubahan zaman dan dinamika internal kampus yang berdiri tahun 1575 itu. Mungkin itulah harapan seorang akademikus sejati seperti A Teeuw. Dalam satu kesempatan pertemuan dengannya di Leiden tahun 2009, saya ditanya tentang situasi pengajaran bahasa dan Indonesia di Universitas Leiden. Ini menunjukkan betapa, walau sudah lama meninggalkan dunia kampus, A Teeuw tetap memperhatikan program studi bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Leiden.

A Teeuw menikah dengan Joosje Teeuw-de Vries tahun 1945. Joosje lebih dulu meninggal (2009). Pasangan langgeng itu dikaruniai lima anak (4 perempuan; 1 lelaki): Marijke (baru pensiun sebagai guru), Anandi (seniman), Arie (konsultan keuangan), Jossine (kerja partikulir), dan Kristina (guru piano).

Selamat jalan Pak Teeuw. Kenangan kepadamu terentang dari Leiden sampai Jakarta.

Suryadi Leiden University Institute for Area Studies, Leiden, Belanda

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com