Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Reformasi dalam Pusaran Korupsi

Kompas.com - 21/05/2012, 04:42 WIB

Oleh Toto Suryaningtyas

Kebangkitan Nasional yang baru dipandang perlu untuk membangkitkan kembali sendi-sendi kehidupan berbangsa terutama dalam penegakan hukum terkait kasus korupsi. Pemuda dan mahasiswa sudah saatnya menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda reformasi baru. 

Kekhawatiran bahwa reformasi penegakan hukum akan mendapat hambatan besar dan berjalan lambat terbukti sudah. Kasus-kasus korupsi kakap terus terungkap. Sebut misalnya kasus dugaan rekening ”gendut” perwira tinggi Polri, suap Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, mafia pajak Gayus Tambunan, korupsi wisma atlet Palembang, mafia anggaran DPR, dan yang terbaru kasus Pusat Pendidikan dan Pelatihan Olahraga Hambalang.

Situasi politik juga cenderung keruh karena politisi saling menelikung dengan kasus-kasus yang melibatkan mereka. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan daerah, uang negara di era otonomi untuk bancakan korupsi kepala daerah. Alasannya sistem kampanye pemilu yang ”mahal” biayanya.

Hingga Mei 2012, tercatat dugaan kasus korupsi terhadap 155 (data lain menyebut angka 171) kepala daerah. Hampir sepertiga jumlah kepala daerah tersangkut kasus korupsi.

Di tingkat pegawai biasa, korupsi pun terjadi. Manipulasi biaya perjalanan dinas adalah modus umum yang ditempuh para birokrat. Meski kecil, jika dikumpulkan secara nasional, angkanya cukup fantastis, lebih dari Rp 7,2 triliun dalam setahun. (Kompas, 18 Mei 2012)

Tak heran indeks persepsi korupsi Indonesia menurut Transparency International beberapa tahun terakhir hanya beringsut di sekitar angka 2,8 dari skala 0 (terburuk) hingga 10 (terbaik). Angka ini terburuk di antara negara ASEAN.

Tesis yang dikemukakan Harold Crouch, dalam buku Political Reform in Indonesia After Soeharto (2010), tampaknya paling mendekati kondisi Indonesia setelah 14 tahun pascareformasi. Setelah tumbangnya rezim otoriter, hambatan terbesar reformasi muncul dari birokrasi dan lembaga peradilan. Sistem hukum tak efektif karena sebagian besar aparat penyelenggara negara sudah terintegrasi dalam sistem dan terbiasa dengan peran ”melayani” kebutuhan rezim sebelumnya.

Reformasi baru

Dengan kondisi itu, wajar jika hampir semua publik jajak pendapat ini (90,3 persen) menjawab perlunya sebuah ”kebangkitan nasional” yang baru. Pandangan ini senada dengan hasil jajak pendapat Kompas minggu lalu bahwa saat ini diperlukan sebuah ”gerakan reformasi” yang baru, yang dinyatakan hampir 70 persen responden.

Persoalannya, kebangkitan nasional dalam bentuk reformasi seperti apa yang sebaiknya dilakukan?

Sebagai wujud gerakan kebangkitan, reformasi kerap dimaknai sebagai upaya penggantian rezim berkuasa yang tidak perform. Pengalaman pergantian rezim sejak BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono terbukti belum banyak menjawab cita-cita kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat.

Selain itu, publik tampaknya lelah dengan pergantian kepemimpinan nasional di tengah jalan. Jajak pendapat triwulanan terhadap pemerintahan SBY yang dilakukan Kompas mendapati mayoritas publik memilih mempertahankan pemerintahan SBY hingga 2014. Meski popularitas SBY dan Partai Demokrat terus turun, tak banyak pilihan pemimpin alternatif yang kuat dan didukung responden.

Sosok ”musuh bersama” dalam reformasi masa kini tidak selalu terlihat jelas bentuknya sebagaimana gerakan Kebangkitan Nasional 1908 ataupun reformasi 1998. Bahkan, musuh para koruptor dan kroninya itu tersembunyi dalam sistem hukum dan struktur sosial yang rapat. Tengok saja berbelit-belit dan sulitnya mengusut korupsi dalam kasus-kasus besar dan melibatkan kekuasaan.

Dalam jajak pendapat ini terungkap, hampir seluruh aspek kelembagaan negara dinilai publik memerlukan reformasi. Yang pertama perlu dibenahi adalah kondisi perbaikan ekonomi dan pengurangan pengangguran.

Sebanyak 69,3 persen responden menilai situasi ekonomi dan pengangguran saat ini tetap buruk bahkan makin buruk dibandingkan dengan masa sebelum reformasi 1998. Di mata 28,1 persen responden lainnya, kondisi saat ini dipandang relatif baik ketimbang masa lalu.

Penegakan hukum

Kelembagaan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi juga dipandang perlu direformasi oleh 64 persen responden. Maraknya perilaku korupsi dinilai sebagai salah satu hal yang paling mengancam masa depan Indonesia selain melemahnya nilai Pancasila dan kepemimpinan. Publik juga menunjukkan ketidakpuasan serupa pada bidang politik dan kesejahteraan sosial.

Dilihat dari latar belakang tingkat pendidikan responden, tidak terlihat banyak perbedaan pola jawaban antara yang berpendidikan tinggi, menengah, dan rendah. Jika dilihat dari sebaran domisili kota responden, jawaban sebagian besar responden tidak menunjukkan perbedaan dengan pola penilaian ketidakpuasan responden secara nasional. Dalam jajak pendapat seminggu sebelumnya juga terekam jawaban senada, 49,7 persen responden menilai kondisi umum bangsa lebih buruk dari sebelum reformasi. Hanya 26,3 persen yang menilai lebih baik.

Mengapa publik di era reformasi cenderung melihat berbagai kekurangan ketimbang masa sebelumnya? Di satu sisi, boleh jadi ingatan-ingatan sosiologis publik atas ”stabilitas” politik pemerintahan masa lalu masih tertanam kuat. Di sisi lain, kebebasan informasi saat ini memudahkan publik mengetahui berbagai kekurangan dalam penyelenggaraan negara.

Jika merujuk masa Orde Baru, kondisi tak selalu bagus seperti yang dibayangkan. Harga yang harus dibayar untuk stabilitas politik masa lalu terhitung tinggi. Dalam istilah Max Lane, seorang penulis dan aktivis Indonesianis, harga untuk mencapai stabilitas sosial-politik-ekonomi itu selain berbagai catatan pelanggaran hak asasi juga ”memutus memori kolektif publik” atas kesadaran berbangsa yang dicapai selama perang kemerdekaan.

Hilangnya kader pemimpin

Sebuah pertanyaan mendasar diajukan Pramoedya Ananta Toer saat perayaan ulang tahunnya ke-81 sebagaimana dimuat dalam buku Bangsa yang Belum Selesai (2007).

Mengapa pemuda yang gemilang menyingkirkan rezim Soeharto yang didukung tentara tidak menghasilkan tokoh yang memiliki otoritas nasional seperti perubahan sebelumnya?

Rupanya sejumlah partai politik berhasil ”mengooptasi” beberapa aktivis reformasi. Langkah itu dilakukan dengan harapan parpol mendapatkan legitimasi publik dan memperoleh kader berkualitas. Ironisnya, di kemudian hari terbukti, sebagian dari aktivis ini tak banyak menaikkan pamor parpol. Sebaliknya, sebagian dari mereka justru terlibat dalam berbagai kasus korupsi.

Direktur Eksekutif Nusantara Centre Yudhie Haryono dalam penelitiannya juga mendapatkan fakta, merebaknya fenomena aktivis yang korup tak terlepas dari beban psikologi individual di masa lalu.

Beban itu berupa ”dendam” atas kondisi ketertinggalan yang membelit para aktivis di masa lalu. Akibatnya, pada saat meraih kekuasaan, mereka cenderung nekat melakukan perbuatan melanggar hukum.

(Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com