Penilaian itu dikemukakan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif dan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat secara terpisah di Jakarta, Selasa (15/5).
Penilaian ini terkait dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa ada indikasi perampokan uang rakyat yang merata di semua instansi pemerintah lewat perjalanan dinas. Ditemukan penyelewengan sebesar 30-40 persen dari biaya perjalanan dinas Rp 18 triliun selama setahun (Kompas, 14/5).
Menurut Ahmad Syafii Maarif, praktik penyelewengan biaya perjalanan dinas di lingkungan birokrasi pemerintah memang sudah lama menggejala. Melihat temuan BPK, mungkin saja
Birokrasi pemerintah itu ditentukan pemimpinnya, seperti menteri, gubernur, wali kota, dan bupati. Jika banyak pemimpin birokrasi itu ternyata sekarang korupsi, dan sebagian sudah masuk proses hukum, tentu aparat di bawahnya punya kemungkinan korupsi juga.
”Korupsi birokrasi sekarang itu mencerminkan perilaku elite yang korup. Kepala-kepala birokrasi itu sarat masalah. Susah mencari orang baik di lingkungan birokrasi,” katanya.
Untuk menanggulanginya, perlu perombakan birokrasi besar-besaran. Masyarakat harus mencari pemimpin nasional sampai daerah yang sungguh bersih, jujur, dan mau bekerja memperbaiki keadaan. Itu bisa dilakukan lewat Pemilihan Umum 2014 nanti.
”Sementara ini, kita jangan berhenti menyuarakan protes atas penyelewengan dan korupsi di pemerintahan. Lakukan apa yang bisa kita lakukan sesuai kemampuan masing-masing. Jangan didiamkan,” katanya.
Komaruddin Hidayat menilai, temuan BPK itu semakin memperkuat kenyataan bahwa pemerintah gagal memberantas korupsi. Apalagi banyak kepala daerah dan politisi di legislatif yang diajukan partai politik ternyata terjerat kasus korupsi. Akibatnya, uang rakyat dirampok dan masa depan bangsa dihambat oleh praktik jahat korupsi dalam berbagai bentuk.
”Para pejabat dari partai politik cenderung mengembangkan budaya kerja yang bertentangan dengan sistem profesional. Menjelang pemilu, mereka sibuk cari dana untuk partai,” ujarnya.
Jika tak ada perombakan radikal di lingkungan birokrasi, kondisi ini akan terus bertahan. Salah satu cara perombakan adalah dengan memilih pemimpin yang benar-benar bersih, jujur, dapat dipercaya, dan berani mengubah keadaan.
”Kita jangan berhenti berteriak terhadap praktik korupsi. Saat ini hampir semua lini birokrasi dan partai politik terlibat korupsi sehingga masing-masing saling menyandera,” ungkap Komaruddin.
Merebaknya aksi korupsi di semua instansi pemerintah ini menunjukkan fungsi pengawasan internal yang terjadi di setiap unit kerja birokrasi dan lembaga pemerintah lainnya tidak efektif. Buktinya, pemborosan, semisal melalui perjalanan dinas, dari
”Inspektorat jenderal selama ini sebenarnya tahu, tetapi anehnya, kok, tidak ada penertiban. Saya pernah melihat draf hasil pemeriksaan. Di situ ada temuan perjalanan dinas fiktif. Namun, saat hasil laporan pemeriksaan final, temuan itu tidak ada lagi,” kata salah seorang pejabat unit kerja eselon II di Jakarta yang enggan disebut namanya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana menegaskan, pengawasan internal dilakukan inspektorat jenderal. BPK ikut dalam pengawasan itu.
Idealnya, menurut Armida, setiap pemborosan yang terjadi harus mendapatkan sanksi. Di Bappenas, misalnya, jika ada pemborosan dalam perjalanan dinas, pelaku diminta mengembalikan uang ke kas negara.
Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo menegaskan, upaya efisiensi biaya birokrasi, seperti perjalanan dinas dan seminar di luar kota, dilakukan dengan memperketat aturan. Namun, penanganannya tidak mudah.
Eko mengemukakan, pengetatan perjalanan dinas, baik terkait frekuensi, jumlah staf dan pejabat yang turut serta, maupun lama perjalanan dinas, akan ditetapkan dalam keputusan presiden. Adapun masalah alokasi biaya perjalanan dinas akan dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan.
Eko mengakui, ketika gaji
Kendati semua biaya perjalanan dinas kini harus dipertanggungjawabkan sesuai pengeluaran (at cost), bukan secara lump sum, penyimpangan tetap ada. Menurut Eko, ada saja boarding pass dan tiket pesawat yang dipalsukan. Bukti pembayaran hotel juga bisa direkayasa. Bahkan, tetap ada surat pertanggungjawaban perjalanan dinas yang dititipkan. Akibatnya, meski hanya satu orang yang ke luar kota, surat perintah perjalanan dinas (SPPD) yang ada bisa 6-10 orang.
Upaya menegakkan hukum dan mengefisienkan anggaran negara ini, menurut Eko, tidak mudah. Sebab, ini adalah penyakit sistemik. Secara kultural, kebiasaan ini sudah diterima dari pejabat paling atas sampai paling bawah.(IAM/INA/LUK/ATO/LAS/HEN/RIZ/NIK/PRA/AHA/UTI)