Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Uang Rakyat Dirampok

Kompas.com - 15/05/2012, 03:21 WIB

Jakarta, Kompas - Penyelewengan anggaran perjalanan dinas sebesar 30-40 persen dari biaya perjalanan dinas Rp 18 triliun selama setahun merupakan indikasi perampokan uang rakyat. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan mengindikasikan bahwa perampokan uang rakyat terjadi merata di semua instansi pemerintah.

Terkait dengan indikasi manipulasi dana perjalanan dinas yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melaksanakan uji petik atas sejumlah instansi.

Instansi-instansi itu adalah Kementerian Sosial, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, serta Arsip Nasional Republik Indonesia.

Demikian ”Laporan Hasil Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Perundang-undangan Tahun 2010” yang dikeluarkan BPK. Dalam laporan yang dokumennya diperoleh Kompas akhir pekan lalu itu disebutkan, auditor BPK telah menguji sejumlah bukti yang mengindikasikan manipulasi dana perjalanan dinas ini.

Sejumlah bukti itu berupa tiket pesawat, pajak bandar udara (airport tax), transportasi lokal, penginapan, uang harian, dan konfirmasi pada maskapai penerbangan.

Modus yang ditemukan BPK setidaknya ada empat. Pertama, maskapai penerbangan yang digunakan dalam pelaksanaan berbeda dengan yang dilaporkan. Kedua, jumlah hari dinas tak sesuai dengan yang dipertanggungjawabkan. Ketiga, melaporkan perjalanan dinas fiktif. Keempat, menggunakan tiket asli tetapi palsu (aspal), yaitu sama sekali tidak melakukan perjalanan dinas atau memakai moda transportasi lain.

Dilakukan masif

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan, di Jakarta, Senin (14/5), menegaskan, korupsi dana perjalanan dinas oleh pegawai negeri sipil (PNS) secara perseorangan bisa jadi tidak terlalu besar jumlahnya. Namun, karena dilakukan secara masif di lingkungan birokrasi, penyimpangan ini menyebabkan anggaran APBN untuk biaya perjalanan PNS melonjak.

”Modus-modus yang ditemukan BPK lucu-lucu. Ada satu orang ditemukan melakukan perjalanan ke dua tempat yang berbeda pada tanggal yang sama. Ada juga perjalanan dinas yang diatur, padahal PNS-nya tidak melakukan perjalanan. Uang yang sudah terkumpul kemudian dibagi-bagi di akhir tahun. Ada juga penggelembungan melalui tiket fiktif, lamanya perjalanan misalkan dari 5 hari ditulis menjadi 10 hari,” kata Yuna.

Menurut Yuna, sistem belanja perjalanan dinas memang menjadi ajang ”bancakan” birokrasi. Tren anggaran perjalanan dinas sejak tahun 2009 terus naik. Pada APBN 2009 dianggarkan Rp 2,9 triliun. Pada APBN-P 2009 menjadi Rp 12,7 triliun, tetapi realisasinya membengkak menjadi Rp 15,2 triliun.

Pada APBN 2010 pemerintah menetapkan anggaran perjalanan dinas PNS Rp 16,2 triliun. Namun, pada APBN-P 2010 naik menjadi Rp 19,5 triliun dan realisasinya Rp 18 triliun. Pada APBN 2011 dianggarkan Rp 24,5 triliun dan APBN-P 2011 sebesar Rp 23,9 triliun.

Tren kenaikan belanja perjalanan ini diikuti dengan tren kenaikan penyimpangan uang perjalanan dinas tersebut. Dari hasil audit BPK 2009 yang direkap Fitra, ada temuan penyimpangan Rp 73,5 miliar di 35 kementerian dan lembaga. Sementara pada 2010 ada temuan penyimpangan Rp 89,5 miliar di 44 kementerian dan lembaga.

Hanya menegur

Pada 2010, lima besar penyimpangan terjadi di Kementerian Pendidikan Nasional sebesar Rp 14 miliar, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Rp 12,8 miliar, Kementerian Sosial Rp 10,5 miliar, Kementerian Kehutanan Rp 7,9 miliar, serta Kementerian Pertanian Rp 6,3 miliar.

”Untuk tahun mendatang, penyimpangan pasti masih banyak terjadi karena rekomendasi BPK masih parsial. Hanya menegur yang bersangkutan untuk mengembalikan uang tersebut ke kas negara, tidak ada tindak lanjut. Ini parsial, tidak memperbaiki sistem. Pegawai di kementerian lain tetap melakukan hal yang sama karena sistem tidak diperbaiki,” kata Yuna.

Sengaja boros

Sejumlah anggota staf serta pejabat PNS kementerian dan lembaga pemerintah yang ditemui di Jakarta kemarin memaparkan sejumlah modus yang sifatnya koruptif menjadi penggerak utama pemborosan anggaran pemerintah. Faktor kesengajaan menghamburkan-hamburkan uang negara demi memperkaya diri sendiri atau orang lain menjadi indikasinya.

”Pemborosan anggaran ini lebih banyak dipicu ambisi meraup keuntungan pribadi daripada faktor teledor atau ketidaksengajaan tata kelola birokrasi,” ujar mereka.

Modusnya, antara lain, mengadakan program atau barang yang sejatinya tidak perlu atau memanfaatkan program atau fasilitas yang sudah ada dengan tak semestinya. Ini mulai dari proses pengadaan barang dan jasa, perjalanan dinas, hingga penggunaan fasilitas pemerintah.

Banyak barang dan jasa yang diadakan sejatinya tak penting atau diperlukan untuk kepentingan pelayanan publik atau peningkatan kinerja birokrasi. Lebih parah lagi, tidak sedikit di antara barang yang telah diadakan itu ternyata berkualitas buruk, bahkan tidak berfungsi sama sekali. Ini tidak terlepas dari proses lelang semu.

Diungkapkan bahwa program lelang elektronik yang didesain untuk mendorong transparansi tampak sebagai kulit saja. Hal yang terjadi sebenarnya adalah penunjukan langsung.

Menurut salah seorang staf pada salah satu kementerian, lelang semu itu dioperasikan oleh unsur pimpinan unit kerja. Unit Layanan Pengadaan yang semestinya ikut bertanggung jawab tak dilibatkan. Pucuk pimpinan yang semestinya menjadi kuasa pemegang anggaran terkesan tak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.

”Pada triwulan pertama saja ada pengadaan barang yang nilainya sekitar Rp 2 miliar, tetapi proses lelangnya tak jelas,” kata PNS tersebut.

Terkait dengan perjalanan dinas, pemborosan dilakukan dengan modus pembuatan pertanggungjawaban fiktif. Diperkirakan lebih dari separuh pertanggungjawaban perjalanan dinas adalah fiktif.(HAR/LAS/LOK/INA/LUK/DMU/RIZ/WHO/EVY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com