Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Buntu Reformasi Birokrasi

Kompas.com - 14/05/2012, 02:14 WIB

Korupsi di birokrasi bukan hanya telah melenyapkan sebagian besar anggaran publik, melainkan juga ikut memacetkan pelayanan publik, baik pada sektor bisnis maupun pelayanan publik yang lebih luas. Suap, pemerasan, upeti, manipulasi dokumen anggaran, perjalanan fiktif, proyek fiktif, pemilihan kontraktor tanpa tender, dan berbagai bentuk korupsi lainnya telah menjadi ritual sehari-hari aparatur birokrasi di Indonesia.

Modus korupsi birokrasi, baik sebelum reformasi birokrasi maupun setelahnya, sepertinya tak banyak berubah. Data audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada semester II tahun 2011, misalnya, menjelaskan dengan sangat eksplisit adanya temuan senilai Rp 1,6 triliun kerugian negara akibat dari 2.319 penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi melalui berbagai macam cara. Mulai dari belanja fiktif, mark up anggaran, kelebihan pembayaran terhadap kontraktor, pengabaian terhadap kekurangan volume pekerjaan kontraktor, perjalanan dinas ganda dan fiktif, hingga penggunaan anggaran negara untuk berbagai kepentingan pribadi.

Dan, yang lebih memprihatinkan, temuan BPK terkait dengan penyimpangan birokrasi hampir tidak digubris secara serius oleh pengambil keputusan, baik di pusat maupun di daerah. Padahal, temuan itu setiap tahun selalu dilansir dan disampaikan kepada pemerintah maupun DPR. Pada titik ini, sepertinya kita harus menerima kenyataan bahwa antara agenda reformasi birokrasi dan masifnya praktik korupsi telah berjalan beriringan.

Patronase politik-birokrasi

Pertanyaannya, dalam keadaan di mana Indonesia telah memilih jalan demokrasi dan memulai cukup lama agenda reformasi birokrasi, mengapa korupsi tetap menjadi hal jamak? Jawabannya adalah pada praktik patronase politik-birokrasi.

Secara garis besar, logika patronase politik-birokrasi terjadi adalah ketika politisi memanfaatkan lembaga pemerintah untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan politik partisan mereka. Hal itu bisa terjadi karena tidak ada halangan apa pun, baik dalam bentuk larangan maupun aturan yang mengikat.

Bagi politisi, mengontrol lembaga pemerintah berarti mengendalikan sumber daya birokrasi yang sangat besar. Baik dalam bentuk anggaran, posisi atau jabatan, pengaruh terhadap kebijakan, pegawai dan sebagainya, yang dapat digunakan untuk kepentingan politik, terutama dalam pemilu. Politisasi birokrasi dalam konteks pemilu sering dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan suara, mobilisasi tenaga untuk kepentingan kampanye, maupun pemanfaatan anggaran pemerintah untuk pembiayaan kampanye.

Oleh karena itu, dalam politik praktis yang telah terkartelisasi seperti saat ini, jalinan patronase politik-birokrasi justru kian menguat. Hampir tidak ada bedanya antara politisi dari partai A dan partai B.

Tak heran jika di hampir sebagian besar kegiatan pemilu (kepala daerah), temuan atas politisasi birokrasi lebih dominan daripada bentuk penyimpangan yang lain. Karena model relasi antara politik dan birokrasi adalah berbagi kepentingan, maka sulit agenda reformasi birokrasi yang bertumpu pada rekayasa kelembagaan dapat diimplementasikan secara baik.

Praktik patronase politik-birokrasi hanya akan melahirkan hubungan koruptif dan transaksional antar-politisi yang biasanya duduk sebagai pemimpin, baik di departemen maupun pemerintah daerah, dengan elite birokrasinya. Politisi tentu tak berminat untuk memperbaiki birokrasi, sementara birokrasi sulit untuk diubah karena elite mereka adalah loyalis politik alias partisan. Ukuran untuk menduduki jabatan tertentu di birokrasi menjadi tidak penting karena orientasinya adalah pada loyalitas.

Jika hal ini yang menjadi masalah utama, mengupayakan rekayasa kelembagaan untuk membangun efisiensi pada lembaga birokrasi, bahkan dengan mengguyur uang pajak rakyat atas nama reformasi birokrasi hanya akan menemui jalan buntu.

Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com