Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pintu Masuk KPK untuk Miskinkan Koruptor

Kompas.com - 05/05/2012, 03:52 WIB

Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya berani memakai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam menjerat pelaku korupsi. Ini kemajuan luar biasa. UU ini jadi pintu masuk untuk memiskinkan koruptor.

KPK sebenarnya kalah langkah dari kejaksaan yang terlebih dahulu menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) saat menjerat mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Bahasyim Assiffie. Bahasyim pun divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan. Majelis hakim memutuskan merampas harta Bahasyim senilai Rp 60,9 miliar dan 681.147 dollar Amerika Serikat untuk negara.

Sukses menjerat Bahasyim dengan UU TPPU, kejaksaan kini juga menjerat pegawai Ditjen Pajak lainnya, Dhana Widyatmika. Polisi juga sukses memakai UU TPPU dalam menjerat pegawai Ditjen Pajak, Gayus HP Tambunan. Majelis hakim pun ”memiskinkan” Gayus. Total hartanya yang disita untuk negara mencapai Rp 74 miliar.

Setelah ditunggu lama, hampir dua tahun sejak UU TPPU disahkan, KPK akhirnya menggunakan aturan ini. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang pertama kali dijerat menggunakan UU TPPU oleh KPK. Nazaruddin dijerat UU TPPU dalam kasus pembelian saham PT Garuda Indonesia.

KPK menduga uang Nazaruddin yang dipakai membeli saham maskapai nasional itu berasal dari tindak pidana korupsi melalui kelompok usaha Grup Permai. Dalam putusan hakim terhadap Nazaruddin pada kasus suap wisma atlet, dengan jelas disebutkan, Grup Permai adalah tempat penampungan fee (komisi) dari perantaraan mendapatkan proyek pemerintah bagi pihak ketiga. Grup Permai pun disebut hakim dikendalikan Nazaruddin.

Langkah KPK menerapkan UU TPPU dalam menjerat Nazaruddin pada kasus pembelian saham Garuda dinilai langkah tepat. Korupsi merupakan salah satu tindak pidana asal pencucian uang. Tak lama setelah memastikan Nazaruddin dijadikan tersangka TPPU untuk pembelian saham Garuda, KPK bergerak cepat. Kali ini, UU TPPU mereka terapkan kepada mantan anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati.

KPK menduga, ada uang senilai Rp 10 miliar di rekening Wa Ode yang diduga merupakan hasil tindak pidana korupsi dan telah disamarkan melalui berbagai cara. Lalu, kenapa baru sekarang KPK berani menggunakan UU TPPU dalam menjerat koruptor di negeri ini?

Mantan Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah sempat mengungkapkan, keengganan KPK menggunakan UU TPPU karena dalam UU itu tak secara jelas disebutkan bahwa kewenangan penuntutan ada pada KPK. KPK selama ini dikenal sebagai lembaga yang super lengkap dalam menangani perkara korupsi. Kewenangan KPK mulai dari menyelidiki, menyidik, dan menuntut ke pengadilan sebuah perkara korupsi. Namun, untuk tindak pidana pencucian uang, UU TPPU tak secara jelas mengatur kewenangan penuntutan tetap ada pada KPK. Inilah yang menurut Chandra dikhawatirkan KPK sehingga mereka terkesan masih enggan menggunakan UU TPPU.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menduga KPK enggan menggunakan UU TPPU karena sepanjang 2011 tak ada kasus yang layak dijerat dengan UU ini. Dia mengatakan, saat ini, pimpinan KPK dengan di-back up penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang berdedikasi, berani menggunakan UU TPPU begitu ada kasus korupsi yang mengarah pada pencucian uang.

Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, mengatakan, sebenarnya KPK tak perlu ragu mengguna- kan UU TPPU. ”Jika KPK menemukan bukti ada pencucian uang, maka penyidikan pencucian uang dan perkara korupsi- nya bisa digabung,” katanya.

Kelebihan UU TPPU ini juga ada pada pembuktian terbalik terhadap harta mencurigakan milik terdakwa. ”Dalam Pasal 77 diatur, untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan hasil tindak pidana. Pasal 77 inilah yang menjadi dasar hukum pembuktian terbalik,” katanya.

Jangkauan UU TPPU yang tak hanya menjerat pelaku utama, tetapi mereka juga yang sempat menerima, menyimpan, bahkan menikmati uang hasil korupsi, menurut Febri, luar biasa dampaknya jika digunakan KPK. Dalam kasus suap wisma atlet, misalnya, putusan hakim bahwa Grup Permai sebagai penampung fee nantinya bisa ditelusuri ke mana saja kas kelompok usaha itu mengalir. Jika Nazaruddin benar bahwa kas Grup Permai juga mengalir hingga ke Kongres Partai Demokrat, siap-siap saja penerima aliran dana ini ramai-ramai dibui dan dimiskinkan.

Mendakwa pencucian sejak awal bisa menjadi strategi KPK menyita harta koruptor. KPK pernah kecolongan dalam kasus suap dengan terdakwa Syarifuddin Umar, hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. KPK hanya mendakwa Syarifuddin menerima suap, sementara harta kekayaan tak wajar yang ditemukan saat penggeledahan di rumahnya tak ikut didakwakan sebagai bagian dari pencucian uang hasil suap.

Bambang pun menuturkan, soal keberanian KPK menggunakan UU TPPU tak lepas dari kemampuan jaksa belajar dari kesuksesan penegak hukum lainnya. ”Biar nanti sejarah penegakan hukum yang menilai dan menuliskannya,” katanya.

(KHAERUDIN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com