Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengelola Koalisi Presidensial

Kompas.com - 23/04/2012, 02:10 WIB

Komoditas koalisi

Mengapa partai mau dilamar atau melamar menjadi anggota koalisi? Ya, karena ada insentif berupa komoditas koalisi. Komo- ditas koalisi terdiri dari dua hal: komoditas pokok dan komoditas pendukung.

Komoditas pokok biasanya be- rupa kursi di kabinet atau jabatan lain yang terkait dengan pos-pos di kementerian. Biasanya komoditas ini membuka akses keuang- an yang besar kepada partai atau pemimpin partai. Komoditas pokok ini dibagikan di awal pembentukan koalisi. Fungsinya memang lebih banyak sebagai ”uang muka” agar koalisi terbangun.

Presiden atau partainya presi- den harus sadar bahwa komodi- tas pokok itu barulah uang muka. Maka, Presiden harus pandai- pandai memelihara dan mengayuh biduk koalisi terus-menerus, secara ”adil” mendistribusikan komoditas koalisi yang kedua.

Komoditas kedua ini adalah komoditas pendukung. Sifatnya cair dan bentuknya bermacam- macam. Partai pendukung koalisi tentu sadar dengan keberadaan komoditas koalisi kedua ini.

Yang paling umum dari komo- ditas kedua adalah apa yang dike- nal sebagai politik pork barrel, pembagian rezeki. Melalui kese- pakatan di APBN, biasanya ada proyek yang langsung atau tak langsung dijadikan sebagai akses khusus anggota koalisi.

Dalam kasus rencana kenaik- an harga BBM kemarin, ada lebih dari Rp 20 triliun dana yang disepakati sebagai kompensasi. Dalam skema dana kompensasi ini ada yang disebut sebagai dana pembangunan infrastruktur pedesaan yang penyalurannya melalui kementerian yang dikontrol sejumlah partai anggota koalisi.

Komoditas kedua ini kadang tampak sepele. Contoh dalam kasus BBM kemarin adalah ketersinggungan Ketua Umum Golkar oleh pernyataan Ketua Fraksi Partai Demokrat. Jafar Hafsah diberitakan menyatakan bahwa Aburizal Bakrie mengusulkan kepada Presiden menaikkan harga BBM hingga Rp 6.000. Karena tersinggung atas pernyataan ini, Golkar berbalik sikap dari mendukung menjadi menolak kenaikan harga BBM per 1 April. Cerita selanjutnya sudah kita tahu.

Harga komoditas koalisi yang kedua ini fluktuatif. Biasanya ia akan cenderung makin mahal seiring dengan merosotnya pamor presiden, apalagi menjelang pemilihan umum. Lagi-lagi kasus BBM kemarin contoh bagus. Karena kenaikan harga BBM kemarin kontroversial dan ditolak banyak orang, harga yang harus dibayar partai pendukung koalisi jadi lebih mahal. Maka, Presiden harus memberi kompensasi yang lebih besar pula. Hal ini pulalah yang dimainkan oleh Golkar.

Perhitungan PKS rupanya ber- beda. Mereka menganggap harga yang akan mereka bayar akan lebih tinggi kalau menjadi pendukung koalisi dalam pemungutan suara soal kebijakan BBM itu. Maka, dalam mengelola dan memelihara koalisi, Presiden-lah yang harus mengambil sikap terhadap tingkah laku anggota koalisinya. Presiden-lah yang dapat mendistribusikan komoditas koalisi atau menariknya kembali sebagai bagian dari dinamika mengelola koalisi presidensial. Presiden tentu tahu kapan harus memberi penghargaan, kapan harus memberi hukuman.

Djayadi Hanan Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina; Kandidat Doktor Ilmu Politik Ohio State University

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com