Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soeratin, Pendiri PSSI yang Rela Hidup Miskin

Kompas.com - 21/04/2012, 05:03 WIB

Namun, karena kecintaan pada sepak bola itulah Soeratin, yang memiliki semangat nasionalisme yang tinggi, akhirnya bertaruh untuk memutuskan keluar dari perusahaan tersebut dan lebih memilih mendirikan usaha sederhana sendiri. Padahal, gajinya di perusahaan itu sangat besar dan memantapkan posisinya sebagai priayi.

Di titik inilah, pertaruhan antara nasionalisme dan materi terjadi dalam kehidupan Soeratin. Hanya satu yang jadi tujuan bagi Soeratin, yakni agar Nusantara melalui sepak bola tak menjadi pecundang di antara sejumlah negara besar di dunia.

Pilihan itu tepat, karena pada akhirnya Nusantara mampu berbicara di tingkat dunia, melalui keikutsertaannya di Piala Dunia 1938 di Perancis. Sejumlah negara seperti Jepang, China, Hongkong, hingga dataran Korea pun bertekuk lutut oleh talenta Indonesia yang waktu itu masih memakai nama East Indies. Nusantara kemudian dapat unjuk gigi di pentas dunia, karena mampu menjadi pionir bagi Asia untuk mengenal sepak bola.

Pada 1940, Soeratin pindah tugas ke kampung halamannya di Bandung dan jabatannya sebagai Ketua PSSI diambil alih oleh Artono Martosoewignyo. Ketika itu, kehidupan Soeratin menjadi serbasulit. Rumahnya sempat diobrak-abrik tentara Belanda, karena aktif dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dianggap musuh oleh Belanda.

Pengabdian Soeratin bagi bangsa pun masih besar di hari tuanya. Ia menyanggupi permintaan Ir Djoeanda untuk memimpin Djawatan Kereta Api (DKA) pada 1949. Akan tetapi, dengan tubuh yang semakin renta, pekerjaan itu sedikit berat. Apalagi, ketika itu perjuangan fisik melawan Belanda terus terjadi. Setelah sekian lama sakit dan tidak mampu menebus obat, Soeratin meninggal dunia pada 1 Desember 1959 dalam kemiskinan.

Hidup tenang
Tahun ini, sudah 52 tahun Soeratin meninggalkan kita, dan selama 82 tahun juga PSSI telah menjadi bagian dari kehidupan sejarah panjang Indonesia. Meskipun pada akhirnya, dewasa ini berbagai persoalan dan konflik tidak kunjung berhenti menghinggapi salah satu organisasi yang paling dicintai publik sepak bola tersebut. Perseteruan PSSI dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) seperti telah membuat mati warisan sejarah emas delapan dekade silam.

Soeratin memang sempat meramalkan bahwa PSSI tidak pernah lepas dari persoalan, karena setiap kepengurusan pasti mempunyai pandangannya masing-masing. Tetapi, alangkah baiknya semangat persatuan dan kesatuan harus tetap menjadi jati diri atau identitas PSSI. Alangkah bijaknya jika kedua pengurus yang bertikai itu sadar bahwa sepak bola adalah harga diri bangsa.

Soeratin tidak pernah meminta kekayaan meski harus mati dalam kemiskinan. Tak pernah pula, Soeratin memproklamasikan diri sebagai pahlawan. Ia hanya ingin memperjuangkan semangat puluhan juta pemuda Nusantara demi meraih kewibawaan dan harga diri Indonesia. Ia ingin memberi dan mengalirkan gagasan agar makna sesungguhnya dalam sepak bola dapat jadi warisan emas bagi anak cucu bangsa.

Kini, di tengah kisruh dan kekacauan akibat ulah kedua pengurus itu, Soeratin seakan menepi. Sudah sepantasnya sang pahlawan kini hidup tenang oleh kedamaian karena tidak harus menjadi saksi hidup perseteruan PSSI dan KPSI. Kesederhanaan dan jiwa nasionalismenya itu sepertinya sudah cukup mewarisi kekalnya kisah indah sepak bola yang melahirkan kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia.

Terima kasih Ir Soeratin. Semoga kebesaran PSSI bisa menyadarkan sejumlah pengurus yang hanya mementingkan citra dan jabatan semata. Satu hal pasti bahwa namamu akan tetap harum dalam makam yang kaya akan sejarah emas sepak bola Indonesia.

Engkau memang sudah tiada. Tetapi, karyamu tetap menjadi inspirasi dan semangat untuk mengangkat kebesaran bangsa lewat sepak bola. Sayang, inspirasi dan warisan besar itu seolah dilupakan oleh pihak-pihak bertikai di tubuh sepak bola saat ini dengan tujuan yang tak jelas arahnya. Bagi mereka, warisanmu sudah mati, karena hati nurani mereka juga sudah mati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com