Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sesat dan Menyesatkan

Kompas.com - 13/04/2012, 02:45 WIB

Bagi khawarij, model arbitrase dianggap identik dengan berhukum berdasar aturan manusia, bukan aturan Allah. Karena itu, hukum yang pantas adalah vonis kekufuran dan hukum mati. Tak ayal, pada Ahad pagi, 17 Ramadhan 40 H, Ali bin Abi Thalib dibunuh di Kuffah. Pembunuhnya adalah Abdurrahman Ibnu Muljam. Sebenarnya yang akan dibunuh ada dua orang lagi, yakni Gubernur Syam (Suriah) Muawiyah bin Abu Sofyan dan Gubernur Mesir Amr bin Ash. Kedua pemimpin Islam ini akan dibunuh masing-masing oleh Abdul Mubarok dan Bakr Attamimi.

Saat ini pun muncul jemaah-jemaah Islam yang dengan ”pede”-nya tidak henti memojokkan Muslim lain sebagai ahli bidah, bahkan musyrik. Presiden SBY dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini pun sudah sering ditunjuk-tunjuk sebagai penguasa dan negeri thoghut karena tidak mau menerapkan hukum syariah. Tuduhan-tuduhan terhadap ulama di luar kelompoknya juga kerap meluncur seperti tuduhan ulama sesat (su’) hanya karena berbeda cara pengambilan dasar pemikiran (istinbath al-hukm). Ada pula doktrin dari suatu jemaah tertentu yang melarang menikahi seseorang yang jarang atau tidak pernah menjalankan shalat berjemaah. Kumpul-kumpul dengan kelompok yang dicap ahli bidah juga dilarang. Ukuran ’jidat hitam” atau beda cara berbusana pun bisa menjadi arena pertikaian.

Sebenarnya, jauh sebelumnya, di negeri kita muncul beberapa kelompok Islam yang kehadirannya menghebohkan sehingga dilarang. Contoh yang terkenal adalah Islam Jamaah, DI/TII, Baha’i, Inkarus Sunnah, Darul Arqam, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawuf berpaham wahdatul wujud, tarekat Mufarridiyah, juga gerakan Bantaqiyah (Aceh). Termasuk di dalamnya Ahmadiyah dan Syiah.

Sederet fakta di atas kiranya bisa jadi gambaran betapa sikap saling sesat-menyesatkan terus bergulir selaju derap perkembangan zaman. Porosnya adalah sikap yang mengklaim terhadap kebenaran pendapatnya serta merasa diri sebagai yang paling benar dan selamat (firqah al-najy).

Di balik penyesatan

Kelompok yang divonis sesat atau sempalan selalu dipandang sebagai kelompok yang memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Di sini menebal keyakinan bahwa yang sesat adalah sesat; ada fatwanya atau tidak. Dulu, kita ingat saat panas-panasnya ribut antara kalangan Islam modernis dan kalangan tradisionalis, selalu muncul sikap saling tuding sesat-menyesatkan. Dari sudut pandangan ulama tradisional, kaum modernis adalah sesat, sedangkan kaum modernis justru menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus.

Kelompok yang dituduh sesat tentu saja juga menganggap dirinya lebih benar daripada lawannya. Biasanya mereka justru merasa lebih yakin akan kebenaran paham atau pendirian mereka. Bahkan, sering kali mereka cenderung eksklusif dan kritis terhadap para ulama yang mapan.

Sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam paham dominan, yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi didukung oleh penguasa, sedangkan paham yang tak disetujui dicap sesat. Persoalan ortodoksi atau otoritas keagamaan terlihat sebagai sesuatu yang bisa berubah menurut zaman dan tempat. Ada kadar kontekstual.

Paham Asy’ariyah pada masa Abbasiyah pernah dianggap sesat saat ulama Mu’tazililah yang waktu itu didukung penguasa merupakan golongan yang dominan. Bahwa akhirnya paham Asy’ari-lah yang menang juga tidak lepas dari faktor politik.

Contoh lain di Iran. Syiah berhasil menggantikan Ahlussunnah sebagai paham dominan baru lima abad belakangan. Seperti diketahui, Syiah Itsna ’asyara kini merupakan ortodoksi di Iran. Sampai abad ke-10 H (abad ke-16 M), mayoritas penduduk Iran masih menganut mazhab Syafi’i. Paham ini baru dominan setelah dinasti Safawiyah memproklamasikan Syiah sebagai mazhab resmi negara dan mendatangkan ulama Syi’ah dari Irak Selatan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com