Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akhiri Diskriminasi dan Kriminalisasi Buruh Migran

Kompas.com - 12/04/2012, 03:56 WIB

Selama ini, buruh migran Indonesia mengalami berbagai macam persoalan yang bersumber dari ketidakpedulian pemerintah terhadap hak asasi buruh migran Indonesia. Bahkan, justru pemerintah yang mengembangkan cara pandang diskriminatif terhadap buruh migran Indonesia. Pemerintahlah yang mengategorikan entitas buruh migran sebagai buruh formal-informal, terampil-tidak terampil (skilled- unskilled), dan legal-ilegal.

Memilah buruh migran dalam dikotomi formal-informal jelas sangat bias jender dan diskriminatif. Mereka yang dikategorikan kerja di sektor formal adalah yang bekerja ”bukan” sebagai pekerja rumah tangga dan artinya laki-laki. Sementara yang bekerja di sektor informal adalah mereka (mayoritas perempuan) yang menjadi pekerja rumah tangga (PRT). Informalisasi sektor kerja tak lebih dari permakluman bahwa negara boleh tidak menjangkau dan tidak melindungi mereka.

Dalam perkembangan terakhir, dikotomi formal-informal tidak relevan lagi seiring dengan kemunculan Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga. Konvensi ini menegaskan bahwa pekerja rumah tangga tercakup dalam hukum perburuhan.

Dikotomi skilled-unskilled juga punya kandungan bias jender dan diskriminatif. Kategorisasi ini menempatkan pekerja rumah tangga sebagai pekerja unskilled (tak terampil) dan pekerja non-PRT adalah pekerja terampil.

Kaum feminis punya peran membongkar cara pandang ini. Jika memasak yang merupakan bagian dari pekerjaan rumah tangga dianggap unskilled, mengapa laki-laki pemasak (chef) dikategorikan pekerja skilled. Pemilahan ini juga membuat negara merasa risi melindungi mereka dan lebih cenderung ingin melarang mereka bekerja di sektor yang dianggap unskilled ini. Realitasnya, mayoritas buruh migran Indonesia bekerja di sektor yang dianggap unskilled

Dikotomi legal-ilegal memiliki unsur kriminalisasi. Pemilahan berlangsung saat pemerintah memulai kebijakan industrialisasi penempatan buruh migran dan hanya mengakui PJTKI (sekarang Pelaksana Penempatan TKI Swasta/PPTKIS) sebagai satu-satunya lembaga yang punya legitimasi menempatkan buruh migran ke luar negeri. Sementara migrasi berbasis kultural yang sudah berlangsung beratus-ratus tahun dikriminalisasi sebagai buruh migran ilegal.

Dalam realitasnya, penempatan buruh migran melalui PPTKIS tidak terjamin aman. Pemilahan ini juga membuat pemerintah (boleh) tidak bertanggung jawab jika ada masalah yang dihadapi oleh buruh migran (yang dianggap) ilegal.

Hapus dikotomi kebijakan

Dengan meratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, pemerintah harus menghapus kebijakan-kebijakan yang berbasis cara pandang dikotomis.

Konvensi ini menggugurkan segala bentuk diskriminasi, stigmatisasi, dan kriminalisasi buruh migran serta menjadi dasar perlindungan HAM dalam tata kelola migrasi pekerja antarbangsa.

Dalam konteks politik luar negeri, meratifikasi konvensi akan memperkuat legitimasi Pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan buruh migran Indonesia di arena diplomasi regional (ASEAN), bilateral, dan multilateral. Hingga saat ini, Indonesia merupakan sedikit dari negara-negara di Asia yang telah lengkap meratifikasi konvensi-konvensi pokok dan inti dalam mekanisme perlindungan hak asasi manusia.

Tentu saja, ratifikasi konvensi bukan satu-satunya payung perlindungan buruh migran. Langkah ini baru tapak awal dan harus diikuti dengan langkah-langkah lebih maju selanjutnya pada tahapan harmonisasi kebijakan nasional dan implementasi konvensi. Tahapan ini bisa dimulai dengan merevisi total UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri dengan perspektif perlindungan HAM seperti yang terkandung dalam konvensi ini.

Wahyu Susilo Analis Kebijakan Migrant Care

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com