Oleh
Pengesahan itu menandai keikutsertaan Indonesia sebagai bagian dari instrumen internasional utama perlindungan buruh migran dalam kerangka mekanisme hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Keikutsertaan Indonesia menjadi bagian dari konvensi ini memang sejak lama ditunggu. Meski berbagai media di Indonesia hampir setiap hari telah mengabarkan derita buruh migran, hampir tidak ada respons yang signifikan dari pemerintah. Pemerintah bahkan berdalih bahwa jumlah buruh migran yang bermasalah tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan jumlah buruh migran yang bekerja.
Dengan berkilah dan berkukuh soal angka, tampaklah bahwa pemerintah memang abai terhadap kompleksitas permasalahan buruh migran. Pemerintah sangat fasih jika bicara soal jumlah remitans yang mengalir dan pertumbuhan angka buruh migran setiap tahun, tetapi menjadi kelu jika digugat tentang jumlah buruh migran yang diperkosa, mati sia-sia, terancam hukuman mati, bekerja tanpa gaji yang layak, dan terutama apa yang kemudian dilakukan pemerintah.
Memang tak ada alasan lagi bagi Pemerintah Indonesia untuk tidak segera meratifikasi konvensi ini. Sudah dua kali Pemerintah Indonesia mengagendakan ratifikasi dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM 1998-2003 dan RANHAM 2004-2009), tetapi ternyata itu hanya janji.
Langkah Pemerintah Indonesia untuk hanya menandatangani (bukan meratifikasi) konvensi pada tanggal 22 September 2004 lebih pada sekadar langkah politis. Saat itu, Indonesia mengajukan lamaran sebagai anggota Dewan HAM PBB dan bukan sebagai komitmen serius untuk menegakkan hak asasi buruh migran Indonesia. Terbukti pada saat yang hampir bersamaan, DPR mengesahkan UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Dari pembacaan kritis terhadap produk akhir legislatif periode 1999-2004, tampak jelas bahwa UU ini lebih banyak mengandung dimensi eksploitatif ketimbang protektif terhadap buruh migran Indonesia.