Proses membangun profesionalisme tak bisa sekonyongkonyong dengan menegakkan kode etik formalistis dan sanksi pemidanaan. Hakim juga manusia biasa: punya keluarga,
Banyak hakim di daerah yang masih mengontrak rumah petak, ke kantor naik angkot bersama pihak berperkara, dan meminjam uang ke bank untuk menyambung hidup. Padahal, UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan bahwa hakim adalah pejabat negara yang mendapatkan jaminan kesejahteraan atau tunjangan yang memadai dari negara.
Hakim selama ini (sengaja) diabaikan kesejahteraannya oleh negara. Tunjangannya 11 tahun jalan di tempat dan gajinya empat tahun terkunci. Bahkan, jika dihitung secara matematis, kini nasibnya kalah tinggi dengan pegawai negeri sipil. Gaji hakim masa kerja 0 tahun Rp 1.976.000, lebih rendah dibandingkan dengan PNS pada golongan dan masa kerja yang sama, yakni Rp 2.064.100.
Ada skema besar pelemahan penegakan hukum melalui pemiskinan hakim. Ketika ”dapur” hakim diabaikan, ada ruang hukum bisa ditawar, praktik suap tetap abadi, hakim tak fokus
Yakinlah, di Indonesia masih banyak hakim berhati jujur yang tak kenal waktu memancangkan pilar-pilar keagungan hukum.