Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman terhadap Ideologi dan NKRI

Kompas.com - 26/03/2012, 02:05 WIB

Dalam buku Sukarno, Bapak Bangsa Indonesia diuraikan juga ruang gerak pemberontak DI/Tentara Islam Indonesia (TII) dipersempit melalui operasi pagar betis yang digerakkan tentara bersama rakyat. Pada 4 Juni 1962, Kartosuwiryo yang ditinggalkan anak buahnya ditangkap. Pada 16 Agustus 1962 dalam sidang Mahkamah Militer, ia dijatuhi hukuman mati.

Setelah 50 tahun DI/TII ditumpas, itu tidak berarti gerakan kelompok radikal bersenjata berakhir. Dalam buku Deradikalisasi Terorisme karangan Petrus Reinhard Golose disebutkan, DI/TII terurai dalam kelompok yang lebih kecil. Salah satu kelompok yang cukup kuat dan memiliki pengaruh di Jawa Tengah adalah kelompok Abdullah Sungkar.

Tahun 1993, Abdullah Sungkar mendeklarasikan pendirian Al-Jama’ah Islamiyah (JI). JI diduga adalah pemeran utama dari berbagai peristiwa terorisme di Indonesia. Aksi JI tidak hanya berkutat di negeri ini, tetapi juga di Asia Tenggara.

Sampai saat ini pun gerakan kelompok radikal yang mengancam simbol negara dan keutuhan NKRI masih terasakan. Misalnya, kelompok radikal yang dikendalikan oleh Pepi Fernando, terpidana perkara terorisme.

Dalam persidangan, Pepi Fernando alias Muhamad Romi alias Ahyar didakwa dua kali mengincar rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peledakan saat iringan rombongan Presiden lewat direncanakan diadakan saat melintas di daerah Cawang, Jakarta Timur, dan di jalan alternatif Cibubur ke arah Cikeas, Kabupaten Bogor.

Menurut jaksa Rini, tahun 2008, Pepi Fernando mengikuti kelompok taklim khusus di Aceh yang dipimpin Ustaz Abdul Rosyid alias Abu Kholis selaku Amir atau pimpinan NII wilayah Sumatera. Periode 2008-2009, Pepi juga aktif memberikan taklim khusus kepada teman-temannya di Jakarta, antara lain, Maulana Sani, Wari, Darto, Awi, Watono, Mugi, dan Hendi. Misi kelompok terdakwa dalam organisasi NII adalah melakukan pembinaan dengan dakwah untuk mencari umat. Visinya, mendirikan NII yang dirintis Kartosuwiryo. Terdakwa juga mempelajari cara pembuatan bom melalui internet dan membaca buku terkait jihad (Kompas, 4/11/2011).

Kelompok radikal tak menyenangi pemerintahan yang sah. Ini karena, misalnya, pemerintah dinilai tidak mengakomodasi keinginan kelompok radikal. Atau, ideologi pemerintah dinilai menyimpang dari kaidah ideologi radikal, bahkan dianggap ”kafir” dan ”thogut”.

Kelompok radikal menyebarkan ideologi dengan berbagai cara. Ideologi radikal dianggap bisa menjadi alternatif. Ideologi radikal dengan perjuangan yang menghalalkan kekerasan tentu mengancam NKRI yang dibangun pendiri bangsa. Karena itu, upaya mencegah ideologi radikal berkembang subur harus terus-menerus dilakukan dengan berbagai cara secara konsisten oleh semua komponen bangsa. Upaya pencegahan itu, misalnya, melalui program deradikalisasi.

Selain itu, paham nasionalis tentu juga seharusnya terus dihidupkan dan dibangkitkan dengan berbagai cara. Sebagai contoh, proses penanaman nilai perjuangan, semangat, atau ”cita-cita” bersama untuk membangun bangsa serta memupuk rasa kecintaan terhadap Tanah Air secara efektif melalui pendidikan di segala tingkatan.

Dilihat dari perjalanan sejarah, masyarakat Bangka memiliki modal besar untuk mengampanyekan nasionalisme itu. Menurut Akhmad Elvian, kedatangan Soekarno disambut antusias warga Pangkal Pinang. Masyarakat mengelu-elukannya saat Proklamator itu berada di kendaraan dengan pekik merdeka. Kedatangan Soekarno juga memberikan dorongan moril yang besar bagi pejuang pro-Republik Indonesia di Bangka.

(Ferry Santoso)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com