Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Dukung Vonis Pemiskinan

Kompas.com - 03/03/2012, 05:21 WIB

Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, juga mengapresiasi permintaan kejaksaan menyita semua aset Gayus yang disetujui majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. ”Terkait aset yang disita, tentu kami memberikan apresiasi sebagai bagian dari upaya pengembalian keuangan negara,” ucapnya.

Namun, menurut Donal, pekerjaan rumah penegak hukum, seperti Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, belum selesai dengan keberhasilan menyita harta koruptor, seperti Gayus. ”Penegak hukum harus terus menelusuri kekayaan lain yang belum tersentuh,” katanya.

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hasril Hertanto, menilai, putusan yang dijatuhkan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk Gayus sudah tepat dan sesuai dengan hukum. Hukum pidana mengenal prinsip umum tentang delik tertunda atau delik yang belum selesai. Pidana yang dapat dijatuhkan maksimal sama dengan ancaman hukuman maksimal ditambah dengan sepertiganya (ancaman).

Ia mencontohkan, jika ancaman hukuman maksimal untuk tindak pidana yang dilakukan Gayus adalah 15 tahun penjara, dia hanya bisa dihukum maksimal selama 15 tahun ditambah 5 tahun (sepertiga 15 tahun) atau total selama 20 tahun. ”Prinsipnya, yang dilihat adalah ancaman pidananya. Dari perkara yang menjerat Gayus, mana yang paling besar ancaman hukumannya. Hukuman maksimal yang harus dijalani Gayus adalah sebesar lama ancaman hukuman maksimal ditambah dengan sepertiganya,” katanya.

Menurut Hasril, total putusan yang dijatuhkan hakim bisa saja melebihi hukuman maksimal. Namun, itu hanya vonis di atas kertas. Ketika yang bersangkutan harus menjalani pidana, ia hanya harus menjalani selama hukuman maksimal (ancaman maksimal ditambah sepertiga).

Secara terpisah, aktivis antikorupsi, seperti Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar; Febri Diansyah (ICW); Koordinator Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Jamil Mubarok; dan Deputi VI Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Mas Achmad Santosa, di Jakarta, menyuarakan perlawanan terhadap hukuman ringan dan pengurangan hukuman bagi koruptor. Mereka juga menolak obral remisi dan pembebasan bersyarat untuk pelaku kejahatan luar biasa ini.

Mas Achmad mengingatkan, hukuman ringan dan pengurangan hukuman melalui remisi dan pembebasan bersyarat tak cukup untuk membuat pelaku korupsi jera. Pelaku korupsi seharusnya dihukum seberat-beratnya.

(ato/bil/ana/iam/ina)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com