Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesona Menjadi Tua dan Sang Flamboyan

Kompas.com - 28/02/2012, 01:44 WIB

Oleh Nur Hidayati

Kodak Theater di Hollywood, Los Angeles, Amerika Serikat, Minggu (26/2) malam, bergemuruh. Hadirin menyambut Meryl Streep sebagai penerima penghargaan Academy Awards 2012 sebagai aktris pemeran utama terbaik dan Jean Dujardin sebagai aktor pemeran utama terbaik. Academy Awards, kerap disebut penghargaan Oscar, bagi Meryl Streep ini bukan saja membuktikan kematangan sebagai aktris, melainkan juga kematangannya sebagai perempuan. Menjadi aktris, bagi dia, juga berarti terus berusaha memahami diri sendiri.

Peran sebagai mantan perdana menteri Inggris Margaret Thatcher dalam film The Iron Lady mengantar penghargaan Oscar untuk ketiga kalinya bagi Streep. Dua Oscar sebelumnya, dia dapat berkat Kramer vs Kramer (1980) dan Sophie’s Choice (1983).

”Penantian” Streep untuk sampai pada Oscar yang ketiga itu sungguh produktif. Dalam rentang 18 tahun, sejak tahun 2003, Streep dua belas kali dinominasikan menerima Oscar, juga meraih delapan penghargaan Golden Globe dan dua Emmy.

Dalam wawancara dengan majalah Vogue (Januari 2012), Streep menggambarkan, The Iron Lady berkisah tentang perempuan, kekuasaan, dan juga rekonsiliasi dengan diri sendiri ketika kekuasaan dan masa keemasan berlalu dalam kehidupan.

Secara pribadi, ia mengaku selalu terpikat pada fakta bahwa setiap orang menjadi tua. Dalam perjalanan usia itu, selalu ada trauma, drama, dan cinta.

Menjadi tua juga diperlihatkan Streep sebagai proses alami yang tak melunturkan kecantikannya. Tak heran, ia menjadi aktris tertua yang dipotret untuk sampul Vogue.

Sebagai aktris, Streep dikenal sebagai perfeksionis yang selalu bekerja keras untuk mempersiapkan peran. Bukan sekadar riset dan latihan—untuk mengubah aksen dan bahasa tubuh misalnya—tetapi juga menjaga stamina fisik dan mentalnya.

Streep punya alasan tersendiri untuk selalu memacu diri memberikan penampilan terbaik dalam setiap film. ”Saya agak dogmatis dan itu bisa jadi sangat buruk. Kalau Anda menyadari diri, seperti para aktor, banyak hal seperti terserap masuk, termasuk kritik. Saya tak suka dikritik,” ujar Streep kepada The New York Times (23/12/2011).

Sutradara The Iron Lady, Phyllida Lloyd, menambahkan, begitu pun Thatcher. Pada masanya, perempuan perdana menteri itu tak bisa menunjukkan—dan mengakui—kelemahan di tengah sorotan publik yang masih patriarkis. Karena itu, kata Llyod, memerankan Thatcher membutuhkan semua yang dipunyai Streep, yakni karisma, kehangatan, dan kematangan pribadi.

Penampilan terbaik itu disuguhkan Streep untuk setiap perannya. Situs film IMDB, misalnya, mencatat, ia berlatih memainkan biola enam jam sehari selama delapan pekan untuk memerankan seorang guru musik dalam Music of the Heart (1999).

Untuk film yang tak terlalu diperhitungkan dalam ajang Academy Awards, seperti Mamma Mia! (2008), pun, Streep membuktikan komitmen penuh. Ia membuat film itu lekat pada ingatan penggemarnya dengan totalitas bernyanyi dan menari secara begitu atraktif. Padahal, usianya hampir 60 tahun saat film itu dibuat.

Dalam kehidupan pribadi, Streep dipandang langka di kalangan selebritas Hollywood. Ia adalah ibu empat anak, buah pernikahan yang bertahan lebih dari 33 tahun dengan Don Gummer, pematung. Dalam pidato penerimaan Oscar Minggu malam itu, kepada sang suami Streep mengalamatkan ucapan terima kasih yang pertama.

”Dicuri” Perancis

Ajang penganugerahan penghargaan Oscar 2012 di jantung Hollywood seolah ”dicuri” Perancis ketika penghargaan aktor pemeran utama terbaik diberikan kepada aktor Jean Dujardin lewat perannya dalam The Artist. Bahkan, The Artist, film hitam putih dan bisu itu, pun kemudian diumumkan sebagai film terbaik tahun ini.

Dujardin menjadi aktor Perancis pertama yang memenangi Oscar. Sebelumnya, Perancis hanya ”diwakili” sejumlah aktrisnya, seperti Marion Cotillard dan Juliette Binoche, dalam kompetisi Oscar.

Dujardin dikenal publik Perancis pada akhir tahun 1990-an. Ia memulai kariernya dari film seri televisi, Un gars et une fille, pada 1999-2003. Sebagai pekerja film, kepiawaiannya terbukti bukan hanya dalam ranah berakting, melainkan juga sebagai sutradara dan penulis skenario.

Masyarakat film yang lebih luas mengenalnya ketika Dujardin berperan dalam Lucky Luke (2009) sebagai si jagoan yang menembak lebih cepat dari bayangannya itu.

Sebagai aktor, ia lebih dikenal bergelut dalam genre komedi. Namun, The Artist, film arahan sutradara Perancis, Michel Hazanavicius, ini membuktikan bahwa Dujardin lebih dari sekadar jago mengocok perut atau mengundang decak kagum dengan keluwesan gerak tubuhnya menari.

Memerankan George Valentin, aktor pada akhir era film hitam putih tahun 1920, Dujardin menyuguhkan deskripsi karakter dan emosi tanpa kata-kata. Kekuatan film ini mengikat perhatian penonton ditumpukan pada kepiawaian dia berakting dengan gerak tubuh, mimik wajah, dan berekspresi lewat sorot mata.

Lewat The Artist, Dujardin merefleksikan sosok yang dibayangkan publik sebagai pria flamboyan ala Perancis, lengkap dengan senyum dan kerlingan memikat.

”Orang datang untuk melihat aku, bukan mendengarkanku bicara,” begitu sosok Valentin dihadirkan Dujardin.

Di panggung, ketika menerima penghargaan Oscar, Dujardin mengakhiri ucapan terima kasihnya dengan berseru, ”Kalau George Valentine bisa bicara, dia akan bilang... Merci beaucoup!”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com