Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Lupa Menghukum dan Mengapresiasi

Kompas.com - 17/02/2012, 01:58 WIB

Sistem pemerintahan presidensial dilekati karakteristik masa jabatan yang ajek (fixed term) bagi presiden dan anggota parlemen. Menurut Seymour Martin Lipset dan Jason M Lakin (2004), masa jabatan yang ajek itu dapat mendorong presiden menerapkan kebijakan yang diperlukan, tetapi bisa jadi tidak populer dalam jangka pendek. Masa jabatan yang ajek bagi pihak eksekutif memberikan ruang pengaman bagi bekerjanya kabinet yang diisi kaum profesional (zaken) untuk kebijakan jangka panjang. Dengan masa jabatan tetap, presiden masih punya cukup waktu untuk mendapatkan kembali popularitasnya sebelum pemilihan umum berikutnya.

Pandangan tersebut merupakan respons atas kritik terhadap sistem pemerintahan presidensial. Pasalnya, pada ”pendukung” sistem parlementer, salah satunya Scott Mainwaring, yang menyatakan bahwa salah satu kelemahan sistem pemerintahan presidensial adalah manakala penggantian seorang presiden yang telah kehilangan kepercayaan dari partai atau dari rakyat menjadi persoalan yang sangat menyulitkan.

Juan Linz berargumen, masa jabatan tetap itu menimbulkan ancaman krisis rezim manakala ada krisis pemerintahan saat dukungan publik hilang karena kesalahan. Kritik Linz, masa jabatan yang dipatok tetap itu menjadikan tidak ada cara yang legitimate untuk mendepak presiden yang tidak populer atau dipandang tak cakap. Proses pemakzulan (impeachment) dianggap terlalu lama dan panjang sehingga tidak bisa segera untuk mengakhiri krisis. Sementara pada sistem parlementer, ada mekanisme institusional yang memungkinkan mosi tidak percaya (vote of no confidence) yang memungkinkan perubahan pemerintahan tanpa krisis rezim. Sistem demokrasi yang baru, yang cenderung belum stabil dan memiliki legitimasi rendah, akan mendapat keuntungan dari fleksibilitas seperti itu.

Mencegah lupa

Indonesia ”terikat” dengan pilihan pada sistem presidensial tersebut. Pemilu berkala dilaksanakan sekali dalam lima tahun untuk memilih presiden-wakil presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif plus para anggota DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Di tengah kekecewaan seberat apa pun, rakyat pemilih mesti menunggu ritual lima tahunan untuk memberikan suaranya kepada pihak yang dinilainya kompeten dan layak dipercaya.

Pemilu mendatang masih 1,5 tahun lagi. Di tengah pasang-surut, naik-turunnya tingkat kepercayaan kepada penguasa, rakyat masih harus menjalani waktu sepanjang itu untuk menentukan kepada siapa mandat akan diberikan.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ahmad Fauzi Ray Rangkuti menilai, demokrasi semestinya senantiasa memberi ruang untuk perubahan. Harus ada cara untuk menghukum penguasa yang tidak optimal kinerjanya. Ironisnya, di Indonesia, mekanisme recall terhadap anggota parlemen, misalnya, tidak optimal karena tetap saja (elite) partai politik yang lebih menentukan ketimbang konstituen. Juga, belum tumbuh tradisi kuat, kemauan publik untuk mengkritik politikus tak kompeten.

Peneliti The Indonesian Institute, Hanta Yuda AR, menyebutkan, satu-satunya instrumen paling absah dan legal dalam demokrasi (liberal) untuk mengapresiasi prestasi kinerja atau menghukum partai dan wakil rakyat yang kinerjanya buruk memang hanya melalui mekanisme pemilu yang berkala. ”Caranya dengan memilih atau tidak memilihnya kembali. Problemnya, apakah instrumen pemilu di Indonesia benar-benar menjadi arena untuk menghukum atau mengapresiasi partai dengan efektif,” sebut Hanta.

Pemilih di Indonesia dinilai belum menjadi ”pemilih kritis” yang menjadikan pemilu sebagai sarana untuk menghukum. Apalagi karakter pemilih yang ”pendek ingatan” dan pemaaf, kerap kali menjelang pemilu terlupakan akibat politik pencitraan. Arena pemilu dan kinerja parpol sepanjang lima tahun terputus.

Direktur Indo Barometer M Qodari mengakui, masa jabatan lima tahun terkadang terlalu lama dalam konteks kebutuhan rakyat untuk merespons kinerja para wakilnya. Akibat rentang waktu yang panjang itu, kalaupun penguasa dianggap tidak optimal saat ini, semuanya bisa terlupakan saat pemilu tiba.

Qodari menyebutkan, salah satu upaya untuk ”menghukum” wakil rakyat yang tak optimal adalah lewat pemilu sela. Andaikan anggota parlemen tidak dipilih bersamaan, misalnya separuh dipilih belakangan, mekanisme ”penghukuman” diyakini bisa efektif. Parpol pemenang pemilu, tetapi kemudian dianggap buruk, akan langsung menjadi ”terhukum” pada pemilu sela tersebut.

Di tengah kondisi itu, menurut Hanta, seluruh pemangku kepentingan, termasuk media massa, akademisi, dan elemen masyarakat sipil, dapat mengambil peran perantara (intermediary) dengan melakukan pendidikan pemilih (voters education), membuat pelacakan (track- ing) terhadap parpol dan kandidat. Media juga bisa turut ”menghukum” parpol dan wakil rakyat yang tidak baik dengan terus memberitakannya sehingga masyarakat tidak akan lupa dan bisa memberikan ”sanksi sosial”. Sebaliknya, media juga mesti mengapresiasi parpol dan wakil rakyat yang bekerja baik.

(SIDIK PRAMONO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com