Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Dikti Berpotensi Merugikan

Kompas.com - 09/02/2012, 09:49 WIB

Fakta lain: dana penelitian relatif besar. Maka, banyak dosen mengikutkan mahasiswa dalam penelitiannya. Kalau penelitian tersebut berasal dari dana swasta dan ada perjanjian bahwa hanya pihak pemberi dana yang boleh menerbitkan hasil penelitian, kebijakan Dirjen Dikti akan menghapus peluang mahasiswa melakukan penelitian murah.

Ada berbagai persyaratan untuk menerbitkan tulisan ilmiah dalam sebuah jurnal, di antaranya ada nilai ilmiah, mengikuti kaidah penulisan ilmiah, tidak diajukan ke jurnal lain, temuan baru, dan orisinal. Andai semua ini terpenuhi (dan ini sulit), bagaimana mengatur waktunya?

Panduan pengelolaan pendidikan tinggi dari Dirjen Dikti menyebutkan, penyelenggaraan pendidikan S-1 berlangsung empat tahun. Lebih dari itu berarti negatif terhadap nilai akreditasi jurusan dan perguruan tinggi.

Mahasiswa yang excellent bisa lulus dalam empat tahun dan mahasiswa S-1 umumnya lulus dalam 4,5-5 tahun. Adanya kebijakan Dirjen Dikti membuat kelulusan mahasiswa molor, bertambah 11-29 bulan atau 1-2,5 tahun, sehingga mahasiswa S-1 baru lulus setelah 5-7,5 tahun.

Tambahan waktu itu untuk membuat draf paper ilmiah, mengirim ke jurnal, menunggu hasil review, memperbaiki paper, mengirim kembali, dan menunggu penerbitan. Itu kalau lancar. Bila ditolak pengelola jurnal, mahasiswa harus menulis ulang atau bahkan mengulang penelitian.

Mampukah jurnal di Indonesia menampung makalah mahasiswa S-1? Bayangkan berapa ratus ribu paper yang harus diterbitkan setiap tahun jika kebijakan ini diimplementasikan.

Bisa saja setiap jurusan membuat jurnal ilmiah sendiri untuk menampung paper dari mahasiswa dan semua dosen bertindak sebagai pereview. Berapa banyak waktu bagi dosen yang tersita untuk melakukan review?

Untuk diketahui, menerbitkan sebuah jurnal ilmiah bukan perkara mudah. Selain butuh dana besar, jurnal juga melibatkan tim pereview dan staf pengelola. Tak semua orang bisa jadi pereview karena biasanya

sudah bergelar doktor dan menerbitkan banyak karya ilmiah. Jika setiap jurusan memiliki jurnal ilmiah dan setiap mahasiswa baru bisa lulus dengan menerbitkan paper dalam jurnal, kualitas jurnal menjadi pertanyaan berikutnya.

Kalau tidak berkualitas, siapa yang mau baca? Padahal, salah satu ukuran mutu suatu jurnal adalah jumlah orang yang membaca dan merujuknya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com