Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Untuk Para Toilet di Gedung Rakyat Itu

Kompas.com - 09/01/2012, 16:34 WIB

Oleh Haz Algebra

Ada yang berbeda sesaat setelah saya memasuki toilet umum di sebuah cafe. Tidak seperti toilet umum pada umumnya, toilet itu sama sekali tidak memiliki anjuran maupun larangan mengenai tata cara ber-toilet yang baik dan benar. Melainkan digantikan dengan berbagai coretan-coretan di dindingnya yang berisi ungkapan, pesan moral, bahkan kalimat-kalimat yang bermakna filosofis.

Seperti ketika saya mengambil posisi di atas closet untuk melakukan ritual pelepasan biologis. Tepat di depan saya terpampang sebaris kalimat yang harufnya masih utuh dan jelas, seperti masih baru: “Ya Tuhan, aku terperangkap dalam kata-kata”. Sepintas saya tidak memahami apa maksud dari kalimat tersebut. Hingga saya meneruskan untuk membaca kalimat-kalimat lain di bawahnya.

Ternyata coretan-coretan di dinding toilet itu, membentuk aforisme, ibarat pantun berbalas yang kemungkinan besar tidak dilakukan oleh satu orang, melainkan datang dari siapa saja yang sehabis “hajatan” di toilet itu. Coretan-coretan itu bukan hanya tidak sistematis, melainkan juga saling bertentangan satu sama lain. Ada yang menuliskan: “Tuhanmu telah jatuh terperosok ke dalam lubang yang kau duduki,” yang kemudian diikuti dengan kalimat: “Di luar sana kita bisa berdusta. Tapi tidak di sini!”

Akhirnya, entah siapa yang menulis kesimpulan dari coretan-coretan yang hampir memakan sebidang dinding itu, pembacaan saya pun sampai pada kalimat yang agak meresahkan hati tapi memberikan sudut pandang berbeda mengenai “keistimewaan” eksistensi manusia: ”Between Piss and Shit, We are Born." (Kita terlahir di antara air kencing dan kotoran).

Rasanya saya mengenal kalimat ini, tapi saya ragu. Kepala saya mendadak pening. Saya celingukan. Setelah me-recall memori, penggalan kalimat ini akhirnya mengingatkan saya pada ungkapan seorang filsuf: “Inter faeces et uriname nascimur.” Ya, tidak salah lagi. Itu adalah kalimat yang pertama kali diucapkan oleh St. Augustinus. Tapi mengapa bisa sampai ke toilet ini? Mungkinkah para filsuf yang tadinya berdebat di dalam cafe kini berpindah lokasi ke toilet?

Sampai di situ, saya tidak henti-hentinya berpikir yang berakibat pada durasi duduk saya yang agak lama di atas closet. Coretan-coretan yang bernada vulgar, provokatif dan sekali-sekali jenaka itu benar-benar membuat saya terpaku dan benar-benar membuat saya ingin berkata, “Ya Tuhan, aku terperangkap dalam kata-kata!”

Lalu, saya pun melanjutkan untuk membaca seluruh coretan di dinding toilet. Ternyata kesimpulan mengenai awal eksistensi manusia tidak berakhir sampai di situ. Tepat di bawahnya terpampang sepenggal kalimat tandingan, "Ahh belagak loe, mo boker aja pake bacot londo-londoan, loe emang shit!" Saya berasumsi bahwa penggalan kalimat itu adalah sebuah antitesa dari kalimat bahasa Inggris di atasnya. Saya pun merasa semakin terperangkap. Dan kemudian mencoba mengalihkan pandangan saya ke sisi dinding yang lain.

Di sana terpampang sebaris kalimat yang seolah-olah menjadi penengah, sebuah sintesis baru yang mencoba mengurangi ketegangan dari perdebatan eksistensi dalam kalimat yang saya baca sebelumnya. Ditulis dengan huruf kapital, coretan itu menyatakan kesimpulannya dalam tulisan: “KAYA ATAU MISKIN, SEGALA JERIH PAYAHMU BERAKHIR DI SINI”. Ah, kali ini saya benar-benar meracau pada coretan dinding yang begitu lekat di depan mata saya. Dan diam-diam meng-amini pendapat Nietzsche bahwa segala persoalan yang dihadapi oleh manusia selalu akan berujung pada pencernaan.

Kreatif, agresif, arbitrer---acak dan sewenang-wenang. Kekuatan kata-kata dalam coretan itu benar-benar membawa saya pada kontempelasi yang diselingi senyum sesekali yang membuat saya lupa sedang berada di mana. Hampir 30 menit berada di atas closet tidak juga menyelesaikan niat awal ketika memasuki toilet itu. Entah apa masalahnya, proses pelepasan yang saya lakukan pun tak kunjung berakhir.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com