Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelisik Akar Konflik Agraria

Kompas.com - 09/01/2012, 02:08 WIB

SUKIRNO

Konflik lahan di Mesuji, baik di Kabupaten Mesuji, Lampung, maupun di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dan terakhir di Bima, NTB, baru puncak gunung es. Masih banyak kasus konflik lahan di Tanah Air yang tak terekam media.

Komnas HAM melalui komisionernya, Nur Kholis, menyebutkan telah menerima 700-800 kasus konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat lokal. Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), setidaknya pernah terjadi 530 konflik lahan di wilayah masyarakat adat. Sementara Norman Jiwan dari Sawit Watch menyebutkan bahwa pihaknya telah menangani 663 kasus sengketa antara perusahaan perkebunan sawit dan masyarakat.

Konflik yang muncul ke permukaan itu sebagian besar karena perluasan perkebunan kelapa sawit yang semakin merajalela tanpa memperhatikan lingkungan, ketahanan pangan, dan kesejahteraan masyarakat lokal. Selain itu, ekstensifikasi sawit juga sudah merambah kawasan konservasi alam.

Berbagai konflik yang ada dapat diidentifikasi dan diklasifikasi menjadi tiga macam konflik. Pertama, konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan ataupun pengusahaan hutan. Umumnya akibat ketidakjelasan status hukum tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat dalam kacamata hukum agraria nasional. Kedua, konflik lahan berkaitan perambahan oleh masyarakat lokal ataupun pendatang. Ketiga, konflik yang berkaitan dengan lingkungan hidup, berkaitan dengan penambangan yang dikhawatirkan mematikan sumber air untuk pertanian.

Bertolak dari klasifikasi konflik tersebut, akar konflik yang harus dibenahi setidaknya ada tiga. Pertama, ketegasan pemerintah untuk mengakui tanah hak ulayat dalam peraturan perundangan tanpa syarat tertentu. Kedua, pemerintah segera melaksanakan land-reform berupa redistribusi tanah untuk petani gurem dan petani tanpa lahan. Ketiga, membangun visi penambangan berwawasan lingkungan.

Perlindungan tanah ulayat

Secara yuridis, tanah ulayat diakui dengan syarat dalam Pasal 3 UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pemerintah mengakui setengah hati terhadap tanah hak ulayat karena dilakukan dengan empat syarat, yaitu (1) sepanjang menurut kenyataannya masih ada, (2) sesuai dengan kepentingan nasional, (3) berdasarkan atas persatuan bangsa, (4) tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Pengakuan secara kondisional terhadap masyarakat hukum adat (MHA) dan hak-hak tradisionalnya juga terdapat dalam UUD 1945, khususnya Pasal 18 B Ayat (2). Pasal itu juga mengakui hak ulayat sebagai bagian dari hak-hak tradisional MHA dengan empat syarat, yaitu (1) sepanjang masih hidup, (2) sesuai perkembangan masyarakat, (3) sesuai prinsip NKRI, dan (4) diatur dalam UU.

Pasal 3 UUPA kemudian dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5/1999 (Permeneg Agraria No 5/1999) tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam peraturan itu pengakuan terhadap tanah ulayat juga tak mudah. Hanya sedikit daerah yang sudah melaksanakan Permeneg tersebut dan mengakui keberadaan tanah hak ulayat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com