Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkaca kepada Tunisia

Kompas.com - 04/01/2012, 02:20 WIB

MUSTHAFA ABD RAHMAN

Pasca-kemenangannya pada pemilu parlemen 23 Oktober lalu, gerakan islamis Ennahda serta-merta menjelma menjadi kekuatan politik primadona di pentas politik Tunisia. Berkat kesediaannya berkoalisi dengan dua kekuatan politik sekuler, yakni partai Kongres untuk Republik dan partai Ettakatol, Ennahda berhasil membentuk pemerintahan koalisi yang dipimpin politisi senior mereka, Hamadi al-Jebali.

Tak hanya itu. Gerakan Ennahda menunjukkan kematangannya berpolitik dengan mendukung tokoh sekuler dan mantan aktivis hak asasi manusia, Moncef Marzuki, sebagai presiden pertama Tunisia pascarevolusi rakyat yang berhasil menggulingkan presiden diktator Zein El-Abidine Ben Ali pada Januari lalu.

Manuver politik yang dimainkan gerakan Ennahda sejauh ini cukup cantik sehingga proses politik di Tunisia menuju era demokrasi cukup mulus dan layak menjadi model bagi negara-negara Arab lain.

Di Tunisia, aspirasi kaum islamis dan liberalis terakomodasi secara baik dan adil. Formula puncak pemimpin: kombinasi sekuler-islamis—yakni figur liberal Moncef Marzuki sebagai presiden dan figur islamis Hamadi al-Jebali sebagai perdana menteri—merupakan refleksi nyata dari kebijakan politik akomodasi kekuatan-kekuatan politik Tunisia saat ini. Bandingkan dengan Mesir, pertarungan antara kubu islamis dan liberal soal siapa yang berhak menyusun konstitusi baru di negara itu telah membawa korban tewas dan cedera dalam jumlah besar.

Stabilitas politik dan keamanan yang relatif berhasil diwujudkan di Tunisia saat ini berkat komitmen gerakan Ennahda menerjemahkan janji-janji politiknya yang dilontarkan dalam sejumlah pidato para pemimpinnya ke dalam realitas kehidupan sosial dan politik di negara itu.

Pemimpin gerakan Ennahda, Rached Ghannouchi, pernah menegaskan, gerakan Ennahda tidak akan balas dendam kepada siapa pun. Tidak juga akan membelenggu mantan anggota partai perkumpulan konstitusional demokrasi (RCD) yang berkuasa pada era Presiden Zein El-Abidine Ben Ali.

Ghannouchi juga menyatakan, Tunisia kini membutuhkan putra-putra terbaiknya dan karena itu butuh kerukunan nasional. Ia menegaskan pula, mempertajam pertentangan ideologi dan aliran politik hanya akan menghambat proses menuju era demokrasi.

Kebijakan tidak melakukan balas dendam itu juga ditunjukkan para anggota kabinet PM Jebali yang tidak sedikit dari mereka meringkuk di penjara pada era Presiden Ben Ali. Salah satu anggota kabinet itu adalah Menteri Dalam Negeri Ali Larayedh. Anggota gerakan Ennahda ini pernah mendekam dari penjara satu ke penjara lain selama 17 tahun masa kepemimpinan Presiden Ben Ali.

Setiba di gedung kementerian dalam negeri setelah mengambil sumpah jabatan pekan lalu, Mendagri Ali Larayedh menegaskan tidak akan melakukan balas dendam terhadap siapa pun. Yang terpenting sekarang harus segera melakukan reformasi di jajaran kementerian dalam negeri agar mampu menjaga keamanan negara.

PM Jebali juga lebih dari 15 tahun mendekam di penjara pada era Presiden Ben Ali. Presiden Moncef Marzuki beberapa kali pula dijebloskan ke penjara pada era rezim Presiden Ben Ali dengan tuduhan bekerja sama dengan gerakan terlarang Ennahda. Marzuki kemudian mengasingkan diri ke Perancis pada tahun 2002 setelah partai Kongres untuk Republik yang didirikannya dinyatakan terlarang di Tunisia.

Pascarevolusi rakyat di Tunisia yang menumbangkan rezim Presiden Ben Ali pada 14 Januari lalu, Moncef Marzuki memutuskan kembali ke Tunisia dan menjadi presiden setelah menjalani hidup di penjara dan pengasingan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com