Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas HAM: Jangan Ada Intimidasi

Kompas.com - 28/12/2011, 04:50 WIB

Bima, Kompas - Aparat kepolisian diminta tidak lagi melakukan penyisiran dan intimidasi terhadap masyarakat pasca-insiden kekerasan saat pembubaran massa di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, Sabtu pekan lalu. Hal itu tidak saja dapat memicu konflik horizontal meluas, tetapi juga tidak akan menyelesaikan masalah.

Ridha Saleh, Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Tragedi Kemanusiaan di Pelabuhan Sape yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengatakan hal itu, Senin (27/12), di hadapan sekitar 1.000 orang di lapangan depan SMA Negeri 1 Lambu, Desa Sumi, Kecamatan Lambu, Bima.

Ridha turun ke Desa Sumi bersama Kepala Bagian Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Sriyana. Warga menyambut hangat kedatangan Komnas HAM. Masyarakat mengharapkan dukungan Komnas HAM untuk membela hak-hak mereka yang menjadi korban kekerasan.

”Untuk diperhatikan aparat Polri, termasuk intel TNI AD, jangan lagi melakukan penyisiran dan intimidasi terhadap masyarakat, apalagi menggunakan senjata yang justru dapat memicu konflik horizontal,” kata Ridha.

Sehari sebelumnya, Komnas HAM menegaskan ada pelanggaran HAM yang dilakukan polisi dalam pembubaran massa di Pelabuhan Sape.

Menanggapi hal itu, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution di Jakarta, Selasa, mengatakan, kepolisian menghormati tudingan tersebut. Namun, untuk kepastiannya, polisi masih menunggu pemeriksaan lapangan dan hasil evaluasi untuk mengetahui ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan polisi. Selain pemeriksaan, tim pengawas juga akan menggunakan video rekaman untuk mengetahui ada tidaknya polisi yang menendang warga.

Pelanggaran juga bisa diketahui dari peluru yang digunakan petugas untuk menembak pengunjuk rasa. Salah satu korban tewas diketahui ditembak dari jarak dekat sehingga peluru menembus dari perut kanan ke perut kiri. ”Kami belum mengetahui apakah itu peluru karet atau peluru tajam. Berdasarkan prosedur, senjata seharusnya diisi peluru karet,” kata Saud.

Kemarin, Ridha meninjau Kampung Jala, Desa Bugis, Kecamatan Sape, tempat terjadi insiden penembakan, dan Desa Sumi, yang tiga warganya, yaitu Syaiful (17), Arief Rachman (19), dan Arifudin Arrahman, tewas ditembus peluru. Belasan warga Sumi juga menderita luka-luka dan dalam kondisi kritis. Namun, Saud menegaskan, korban meninggal 2 orang, luka berat 8 orang, dan luka ringan 30 orang.

”Kami akan bekerja secepat mungkin dalam penyelidikan dan pengumpulan fakta-fakta ini sehingga kebenaran dan keadilan ini dapat diungkap. Setelah dari sini, saya akan melaporkan langsung ke Ketua Komnas HAM. Hasil penyelidikan ini juga akan kami sampaikan kepada Presiden dan Kepala Polri,” kata Ridha.

Menurut Saud, Polri siap diaudit terkait penanganan aksi unjuk rasa di Bima. Inspektorat Pengawasan Umum Polri telah memeriksa 20 polisi untuk mengetahui ada tidaknya pelanggaran prosedur dalam penanganan peristiwa itu. ”Kami akan transparan dan siap diaudit. Saat ini kami masih melakukan penyelidikan dan pemeriksaan. Nanti hasilnya akan dievaluasi,” kata Saud.

Tim Komnas HAM direncanakan bekerja hingga Jumat mendatang. Tim akan meminta keterangan sejumlah pihak, termasuk Bupati Bima Ferry Zulkarnain dan Kepala Polresta Bima Ajun Komisaris Besar Kumbul. Komnas HAM juga akan merekomendasikan kepada Bupati Bima supaya mencabut izin eksplorasi tambang PT Sumber Mineral Nusantara.

Di hadapan tim Komnas HAM, sejumlah warga memberikan kesaksian. Nurhayati, warga Desa Bugis, mengatakan, di lokasi penembakan, sekitar 600 meter dari Pelabuhan Sape, ia sempat melihat seorang warga terkena tembakan di dada kiri. ”Mulanya korban masih berteriak sakit-sakit, tetapi kemudian terdengar tembakan kedua, korban lalu tewas,” kata Nurhayati.

Abdurahman, warga Desa Bugis yang lain, menuturkan, begitu terdengar suara tembakan, semua warga sekitar pelabuhan diminta masuk ke rumah. ”Saya mendengar ada suara dari luar rumah yang mengatakan, yang tewas tiga orang,” katanya.

Masih mencekam

Hingga kemarin, situasi di Desa Sumi masih mencekam. Warga masih menutup jalan masuk ke desa itu, bahkan mulai dari Desa Melayu yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari Sumi. Dari pengamatan di lapangan, banyak benda perintang jalan yang dipasang warga. Ada setidaknya 54 rintangan yang dibuat dari batang pohon, batu, pos-pos jaga, tenda, barang-barang rongsokan, meja-kursi, bahkan tiang beton. Tampak sejumlah kantor pemerintah rusak dan dibakar massa, kecuali puskesmas dan sekolah.

Warga menolak keras polisi dan media massa masuk ke Desa Sumi. Selain masih trauma, mereka khawatir warga disorot media menjadi informasi bagi polisi untuk mengincar dan menangkap mereka. Namun, sejumlah media cetak dan elektronik akhirnya diizinkan setelah negosiasi Komnas HAM dengan tokoh masyarakat dan tokoh pemuda setempat.

Arifudin, anggota Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Insani Bima, mengatakan, dari 53 tersangka yang ditahan polisi, 9 orang, di antaranya ibu dan anak-anak di bawah umur, diberi penangguhan penahanan, Senin lalu. Mereka dikenai wajib lapor.

Di Mataram, Selasa, sekitar 1.000 orang berunjuk rasa menuntut penarikan pasukan Brimob dari Lambu dan Sape, juga beberapa pejabat jajaran Polda NTB dicopot. Polisi juga diminta menghentikan tindakan represif terhadap pengunjuk rasa yang ingin menyampaikan aspirasi, selain menuntut pencabutan izin usaha pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara.

Kepala Bidang Humas Polda NTB Ajun Komisaris Besar Sukarman Husain mengatakan, penyampaian aspirasi pengunjuk rasa kepada DPRD sudah pas. Namun, soal pencopotan pejabat tentu punya dasar dan ketentuan. Unjuk rasa pengusutan kasus kekerasan tersebut juga berlangsung di Palangkaraya.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyatakan, dengan alasan apa pun, polisi tidak boleh menembak rakyat. ”Apa dia lupa, yang bayar pelurunya juga uang rakyat,” kata Said Aqil.

(SEM/RUL/BAY/FAJ/EDN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com