Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Papua, Freeport, dan Renegosiasi

Kompas.com - 14/11/2011, 04:37 WIB

Kalau kita lihat adanya evolusi dalam pengaturan, evolusi ini tidak membawa perbaikan pada nasib bangsa Indonesia, tetapi justru memberikan kebebasan kepada penanam modal asing, dengan perumusan yang melanggar UUD 1945.

Kutipan Pasal 5 dari Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 antara lain berbunyi: ”Perusahaan patungan dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak, yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom, dan media massa”.

Jadi, perusahaan harus patungan, tetapi porsi Indonesia dalam perusahaan patungan cukup 5 persen saja. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 6 Ayat (1) yang berbunyi: ”Saham peserta Indonesia … sekurang-kurangnya 5 persen dari seluruh modal disetor perusahaan....”

Suasana dalam Konferensi Geneva di tahun 1967 diwarnai kondisi ekonomi Indonesia yang sangat rusak dan pilihan Indonesia sangat terbatas, ditambah dengan para juru runding pihak Indonesia yang terdiri dari teknokrat dan lawyer yang belum berpengalaman dalam dunia praktik, apalagi menghadapi para CEO dan pemilik dari korporasi dunia seperti yang disebutkan John Pilger tadi.

Liberal dan melanggar UUD

Namun, kontrak karya yang pertama beserta peraturan tentang peran modal asing mengalami perubahan-perubahan. Mengapa perubahan itu justru dibuat begitu liberal dan begitu vulgar melanggar jiwa UUD 1945? Kesalahan fatal dari kehadiran PT FI yang begitu lama, yaitu per tahun 2010 sudah 43 tahun, dengan pembagian manfaat yang begitu tidak adil antara PT FI dan bangsa Indonesia membuat kericuhan menjadi multidimensi, campur aduk antara kepentingan ekonomi dan kepentingan politik. Dalam kondisi seperti ini, tidak mustahil kekerasan yang terjadi dilatarbelakangi oleh beking yang luar biasa dari kekuatan korporat asing. Dan yang lain-lainnya itu hanya merupakan puncak dari gunung es yang sangat menyakitkan hati.

Tak heran kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang biasanya lemah lembut, jadi berang ketika mengumumkan akan melakukan renegosiasi (bukan asal berang saja). Memang enough is enough. Mau ditunggu sampai kapan? Apakah sampai Papua merdeka dengan penguasaan de facto oleh Freeport yang berfungsi bak VOC dulu?

Sekadar beberapa angka perbandingan. Pada saat ini Freeport McMoran menguasai 90,64 saham Freeport Indonesia. Hanya 9,36 persen yang dimiliki Pemerintah Indonesia.

Harry Tjan Silalahi  Mantan Sekretaris Jenderal Front Pancasila 1965; Eks Staf Buruh Pantjasila

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com