SIDOARJO, KOMPAS
Meski dalam kondisi kritis, upaya penguatan tanggul itu dihentikan warga Kedungbendo, Siring, dan Jatirejo karena ganti rugi atas tanah mereka oleh PT Lapindo Brantas belum beres.
Pembayaran cicilan ganti rugi sudah lebih dari setahun macet. Bahkan, 19 keluarga di Desa Gempolsari dan sejumlah warga di Desa Ketapang belum pernah menerima ganti rugi dari PT Lapindo sejak lumpur menyembur pada 29 Mei 2006.
Achmad Khusairi dari Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Jumat (11/11), mengakui, tanggul kritis itu di titik 70 sampai 21, yaitu yang berada di sisi barat, mulai dari Desa Ketapang, Siring, sampai Jatirejo.
Tanggul kritis ini selain mengancam Desa Ketapang dan Jatirejo, juga mengancam jalur rel kereta api dan Jalan Raya Porong. Jika jalur rel kereta api dan Jalan Raya Porong tertimbun lumpur, akan menimbulkan masalah. Jalur kereta api itu satu-satunya yang menghubungkan Surabaya dengan kota di selatan dan timur, seperti Malang, Blitar, Pasuruan, Jember, dan Banyuwangi.
Apalagi, jalur alternatif belum selesai karena pembangunannya juga diprotes akibat ganti rugi tanah belum beres. Pembangunan jalan tol baru juga terkendala pembebasan tanah.
Mencegah air meluber atau bahkan tanggul jebol, BPLS berupaya meninggikan dan memperkuat tanggul. Namun, upaya itu mendapat perlawanan dari warga Jatirejo dan Siring dengan menghentikan alat berat yang dioperasikan BPLS. Sebelumnya, tindakan serupa dilakukan warga Kedungbendo. ”Kami sudah minta pengertian warga karena ganti rugi urusan Lapindo Brantas, sementara BPLS bertugas mengamankan tanggul yang juga untuk keselamatan mereka,” katanya.
Bahkan, Sabtu, BPLS tetap berusaha meminta warga agar bisa menggarap pelebaran permukaan bibir tanggul. Saat ini, upaya untuk mengurangi elevasi lumpur agar tidak meluber dan tanggul jebol, BPLS terus memompa air dan mengalirkan ke Kali Porong.